
Marong Mahawangsa dititahkan oleh raja Rum menemani putranya meminang putri Tiongkok. Dekat Langka, bekas kerajaan Rawana, mereka itu diserang oleh garuda, yang bermaksud dengan persetujuan Nabi Sulaiman mempertemukan anak raja Rum dan putri Tiongkok itu di Langka.
Anak raja Rum itu hilang, diterbangkan garuda itu.
Marong Mahawangsa tidak tahu, bahwa anak raja itu selamat, dan karena itu dicarinya.
H |
atta beberapa hari lamanya raja Marong Mahawangsa mencari anak raja Rum itu dengan kemasygulan yang amat sangat, karena sultan Rummenyerahkan anakandanya itu ke dalam jaganya dan ialah harapan yang besar kepada sultan Rum itu. Maka ratalah sudah disuruh cari oleh raja Marong Mahawangsa kepada segala menteri para penggawa hulubalang, tiada juga bertemu dengan anak raja Rum itu. Maka raja Marong Mahawangsa pun berlayar dengan halanya, pergi ke timur dengan bahteranya menyusur daratan tanah besar itu, sambil mencari-cari juga akan anak raja Rum itu, kalau-kalau bertemu.
Hatta dengan demikian itu maka sampailah kepada suatu teluk dengan suatu tanjung. Maka raja Marong Mahawangsa pun bertanya pada seorang mualllim yang tua di dalam bahtera itu, “Apa nama tempat itu dan apa halnya?” Maka sembah muallim itu, “Bahwa pulau besar yang baharu hendak bersuatu dengan daratan itu bernama pulau Seri dan sebuah pulau kecil dekatnya itu pula bernama pulau Jambul, dan yang arah kedatarannya sedikit itu bernamapulau Lada, tuanku.”
Maka titah raja Marong Mahawangsa, “Jikalau demikian, singgahlah kita berlabuh ke timur teluk ujung tanjung di antara tanah besar dengan pulau yang besar itu.”
Setelah itu lalu berlayarlah behtera itu menuju tempat yang dititahkan oleh raja Marong Mahawangsa itu. Antara berapa ketika lamanya berlayar, maka berlabuhlah bahtera itu. Maka raja Marong Mahawangsa pun dengan segala menteri pegawai hulubalang naiklah ke darat.
Maka tatkala itu datanglah kaum gergasi, orangnya besar-besar, terlalu banyak datang menghadap raja Marong Mahawangsa. Maka oleh raja Marong Mahawangsa pun sudah diketahuinya oleh orang-orang itu bangsanya, lalu ditegurnya serta dengan manis suaranya
mengambil hati mereka itu. Maka segala kaum gergasi itu pun sangatlah kasih sayang serta dengan takut dan hormatnya akan raja Marong Mahawangsa itu, karena hebat sikapnya, tiada terlawan pada zaman itu, dan segala yang melihat akan dia takut dan gementar sekaliannya daripada segala bangsa.
Maka tirahnya pada segala kaum gergasi yang datang itu, “Adapun beta singgah inijikalu baik bicaranya maulah beta duduk berheti di sini dahulu, sementara menanti khabar anak raja Rum itu, kalau-kalau ada hidupnya.”
Maka sembah segala kaum gergasi itu, “Patik sekalian pun lebih lagi kesukaan,karena patik-patik sekalian ini tiada menaruh raja pada tempat ini. Jikalau demikian baiklah duli tuanku coba berangkat melihat tanah yang patut tempat tuanku hendak duduk.”
Maka raja Marong Mahawangsa pun berjalanlah menyusur mencari tanah tempat hendak membuat kota , parit, balai, istana itu diiringkan oleh menterinya dan segala kaum kerabatnya itu. Maka bertemulah dengan tanah bumi yang baik, terlaulah indah-indah tempatnya dan pemandangan di kelilingnya amatlah permai-permai, tanahnya pun berpasir. Maka tiadalah ia turun ke bahteranya lagi, gila dengan memungut buah-buahan dan membuat kota istana dengan balainya yang terlalu amat besar lagi dengan indahnya.
Setelah sudah kota balai itu, maka dinamai Langkasuka, karena mengerjakan itu disambilkan dengan makan minum dan bersuka-sukaan jua serta dengan beberapa binatang perburuan berjenis-jenis daripada rusa, kijang, napuh, pelanduk, sapi dan lainnya yang dimakan oleh sekalian orang bekerja itu. Maka terlalulah amat kesukaannya sekalian mereka itu dengan tepuk tarinya dan bunyi-bunyiannya karena kaum itu tiada beraja hanya ia sekalian berpenghulu saja dan lagi pun baik budi bahasanya raja Marong Mahawangsa dengan segala menteri para pegawai hulubalang rakyatnya sekalian itu.
Setelah sudah lengkap kota istana dan balai itu, baharulah raja Marong Mahawangsa menitahkan orang menyuruh punggah angkat segala kalkasar serta dengan istrinya sekali disuruh bawa ke istana. Kemudian segala istri hulubalang para pegawai masing-masing berbuatlah rumah dan kampung diaturnya berkeliling kota rajanya. Setelah sudah sekaliannya itu, maka masing-masing pun datanglah menghadap rajanya sehari-hari.
Maka termasyhurlah khabar raja Marong Mahawangsa sudah duduk menjadi raja kepada tempat itu. Maka segala dagang senteri pun berohonlah datang berniaga ke dalam negeri itu, dan baginda dengan segala menterinya makinlah bertambah-tambah baik budi bahasanya kepada segala isi negeri, dan kesenanganlah segala rakyat mencari makan pergi mari ke negeri itu, tiada pernah teraniaya. Maka banyaklah orang yang berpindah dari luar negeri membawa anak istrinya pergi duduk bersama-sama raja arong Mahawangsa itu, hingga makin bertambah-tambah rakyatnya daripada sebulan kepada sebulan, daripada setahun kepada setahun, dan makin banyak orang berpindah itu. Maka tetaplah raja Marong Mahawangsa di atas takhta kerajaan dengan adil murahnya. Demikianlah diperintahkan oleh baginda itu tiada lagi berulah melainkan daripada sehari kepada sehari bertambah-tambah kebijakan sahaja di dalam negeri itu.
( Hikayat Marong Mahawangsa )
HIKAYAT MUSAFIR DENGAN TUKANG EMAS
“Sekarang” ceritakan pulalah perumpamaan orang yang berbuat kebajikan, tetapi tidak pada tempatnya,dan ia mengharap juga akan terima kasih.”
“Ampun, tuanku,adapun makhluk di dunia ini bertinggi rendah derajatnya. Sungguhpun demikian tidaklah dalam makhluk sebanyak itu, baik yang berkaki empat, baik bangs yang berkaki dua, maupun yang bersayap, yang terlebih mulia daripada mannusia. Akan tetapi tidak semuanya manusia itu tinggi budinya, ada pula yang jahat kelakuan. Binatang kadng-kadang ada yang lebih mulia budinya daripada manusia,lebih dapat dipercaya dan lebih pandai membalas guna. Oleh sebab itu wajib atas orang yang bijaksana, istimewa raja-raja, meletakkan kebajikan pada tempatnya jangan teperbuat hendaknya kepada orang yang tiada pandai menghargakannya, tiada pula tahu berterima kasih. Jadi ada gunanya menyelidiki budi pekerti tiap-tiap orang yang ada perhubungannya dengan kita. Jika ternyata seseorang pandai membalas guna, bolehlah kita berbuat kebajikan kepadanya, sekalipun ia bukan ahli pamili. Sebaliknya di antara ahli pamili sendiri ada yang tidak pandai membalas guna, dan tidak patut menjadi tempat meletakkan kebajikan.
Bukankah tak ada pandai obat yang mau mengobati orang sakit sebelum diketahuinya keadaan diri orang itu, tabiatnya dan penyakit yang dihidapkannya? Demikianlah maka arif bijaksana belum mau mendekatkan diri kepada seseorang, sebelum mengetahui tabiat kelakuan orang itu. Barangsiapa yang lekas percaya kepada kebaikan orang yang didengarnya dari mulut ke mulut saja, ia menjatuhkan dirinya ke dalam bahaya.
Sungguhpun demikian mungkin pula terjadi orang yang berbuat baik kepada seseorang yang lemah, yang belum diketahuinya budi pekertinya mendapat balasan kebaikan pula. Seperti orang yangmembawa burung rajawali di tangannya, lalu apabila burung itu dapat memburu dan menangkap perburuan,maka yang penya pun beruntunglah. Kata orang tua-tua tiada patut sesorang merendahkan lainnya, baik manusia maupun binatang. Tetapi baiklah dicobainya lebih dahulu, supaya dapat diketahuinya apa yang layak dilakukan kepada orang itu. Orang yang memperbuat perbuatan yang baik, tetapi bukan pada tempatnya, adalah perumpamaannya seperti musafir yang melepaskan tukang mas dari dalam sumur.”
“Ceritakanlah, hai Brahmana yang bijaksana!”
“Sekali peristiwa pada suatu tempat yang digali orang sebuah sumur. Maka pada suatu malam jatuhlah ke dalam sumur itu orang pandai emas, seekor ular, seekor kera dan singa seekor. Setelah sianglah hari, lalu di tempat itu seorang musafir. Demi kelihatanlah olehnya pandai emas bersama-sama dengan binatang-binatang itu dalam sumur, berikirlah ia. “Tak mungkin ada amal yang lebih berharga untuk akhiratku,” katanya dalam hatinya,
“daripada melepaskan orang itu darimusuh-musuhnya.”
Maka diulurkannya seutas tali. Mula-mula
bergantunglah kera, lalu ditariknya dan kera pun terlepas dari bahaya. Diulurkan sekalli lagi, dan terlepaslah ular. Sekali lagi diulurkannya, bergantung pula singa, dan ia pun terlepas pulalah. Ketiga binatang itu lalu mengucapkan terima kasih kepada musafir, seraya berkata, “Adapun orang itu janganlah tuan hamba keluarkan, karena mannusia tiada pandai membalas guna.”
Kemudian kata kera,”Adapun tempat hamba adalah pada sebuah bukit dekat kota yang bernama Nawadiracht.”
“Hamba pun di situ juga tempatnya,” kata singa menyela. “Dan hamba,” kata ular, “pun di situ.” “Oleh sebab itu,” kata binatang ketiganya, “kalau tuan hamba datang ke tempat itu, dan ada keperluan tuan hamba akan barang sesuatu, maka sebutah nama kami,niscaya kami datang, membalas jasa tuan hamba sedapat-dapatnya.” Kemudian binatang itu pun pergilah.
Nasihat binatang itu tiada dipedulikan oleh musafir. Diulurkannya tali sekali lagi dan dilepaskannya tukang emas. “Tuan hamba telah melepaskan jiwa hamba,” kata tukang emas. “Oleh sebab itu jika tuan hamba sampai ke kota Nawadiracht, tanyakanlah rumah hamba, mudah-mudahan dapat juga hamba membalas budi tuan hamba itu hendaknya. Hamba ini pandai emas.”
Pada suau ketika sampailah musafir ke kota Nawadiracht. Demi kera terlihat akan musafir itu,datanglah ia lalu sujud menjilat kaknya seraya berkata, “Adapun bangsa kera tidaklah mempunyai suatu apa pun jua. Sungguhpun demikian, sudilah tuan hamba menanti barang seketika di sini.” Maka pergilah kra, dan sesaat sudah itu kembali ia membawa buah-buahan yang lezat cita rasanya, diberikannya kepada musafir. Musafir pun makanlahdan terobatlah laparnya.
Sudah itu musafir berjalanlah pula. Sejurus antaranya bertemu ia de nga singa. Singa pun sujud menyembah sambil berkata, “Hamba berutang budi kepada tuan hamba. Oleh sebab itu sudilah tuan hamba menanti seketika di sini.”Lalu singa pun perg dari situ masuk ke dalam teman tempat anak raja bermain-main. Anak raja itu dibunuhnya, diambilnya kalung lehernya, dibawanya kepada musafir. Demi musafir melihat barang perhiasan itu, teringatlah tukang emas olehnya.
“Binatang ini sudah memberiku barang perhiasan,” katanya. “Alangkah baiknya kalau aku datang kepada tukang emas. Dia yang tahu berapa harganya barang ini. Kalau dia seorang miskin pula, biarlah diambilnya seperdua daripada penjualannya, cukuplah diberikannya kepadaku yang seperdua lagi.”
Maka pergilah ia ke rumah tukang emas. Tatkala bertemu sangat hormat tukang emas menyambut dia. Keudian ketika perhiasan itu diperlihatkan musafir kepadanya, tahulah pandai emas siapa yang empunya, karena barang itu ia yang membuatkan untuk anak raja dahulu. Maka berkata ia kepada musafir, “Istirahatlah tuan hamba barang seketika, hemba hendak pergi membeli makanan, karena di rumah tiada hamba menaruh makanan yang patut bagi tuan hamba.”
Kemudian keluarlah ia sambil berkata dalam hatinya, “Mujur aku. Sekarang terbuka jalan bagiku akan menjadi orang bear. Kuberitahukan kepada raja bahwa orang yang membunuh putra baginda dan merampas perhiasannya ada di rumahku. Tak boleh tidak aku diberi raja karunia yang besar.” Maka masuklah ia menghadap dan diadukannya musafir itu kepada baginda. Ketika itu juga raja pun bertitah menyuruh mmenangkap musafir itu. Demi baginda melihat perhiasan itu ada padanya,murkalah baginda, lalu bertitah mnyuruh memenjarakan dan menyiksanya, kemudian supaya diarak keliling kota , sudah itu dibunuh.
Mendengar titah raja demikian, musafirpun menangis seraya berkata, “Kalau nasihat binatang itu kuturuti dahulu barangkali tiadalah akan begini halku.” Maka merataplah ia hingga kedengaran oleh ular.Ular pun datanglah menemuinya. Karena kasihan melihat hal orang itu, ular pun berusaha hendak melepaskannya. Dipatuknya putra mahkota, lalu sudah itu ia pergi mendapatkan sahabatnya seorang jin. Disuruhnya jin mengganggu putra itu dalam tidurnya, bahwa ia akan sembuh sebelum diobati oleh musafir yang terpenjara karena teraniaya itu. Sudah itu pergi pula ia bertemu dengan musafir.
“Dahulu sudah juga kami larang tuan hamba melepaskan musuh itu,” katanya, “tetapi tuan hamba tiada mau mendengar kata kami. Sekrang jika datang tuan pesuruh raja menyuruh mengobati putra baginda, beri minumlah anak itu dengan air daun kayu ini, mudah-mudahan sembuh ia. Kemudian kalau ditanya raja hal ihwal tuan hamba, ceritakanlah kepada baginda dengan sebenar-benarnya. Mudah-mudahan terlepas tuan hamba dari hukuman.”
Demi raja melihat anaknya digigit ular, dipanggilnyalah semua tabib dari dalam negeri, disuruhnya mengobati. Tetapi berapa pun diobati tiada juga putra itu sembuh. Kemudian pada suatu malam putra itu bermimpi, serasa ada oarang datang kepadanya mengatakan, kalau ia hendak sembuh, haruslah ia berobat kepada musafir yang terpenjara itu. Ketika mimpi itu dikabarkan kepada raja, dipanggil bagindalah muafir itu, disuruhnya memanterakan annaknya.
“Patik tiada pandai bermantra, Tuanku,” jawab musafir itu. “Tetapi cobalah putra itu diberi minum air daun ini mudah-mudahan sembuh dia.”
Setelah putra raja diberi minum air daun itu, maka melihat izin Tuhan sembuhah dia. Sangatlah sukacita raja melihat ananda sembuh, dan musafir itu pun dikaruniai baginda anugerah besar. Kemudian baginda pun bertanyalah akan hal ihwalnya. Oleh musafir semua keadaannyadiceritakan kepada raja.
Mendengar cerita musafir itu murkalah baginda kepada pandai emas, lalu disuruh beginda tangkap dan sulakan. Maka disulakan oranglah pandai emas itu. Demikianlah kalau orang melakukan perbuatan yang keji, air susu dibalas dengan tuba.
Bagi cerdik cendikia hikayat di atas dapatlah menjadi peringatan, supaya hati-hati meletakkan kebajikan pada tempatnya yang berpatutan dengan dia, baik terhadap ahli pamili sendiri, maupun terhadap oarang lain semata-mata. Ketika itulah baru kebajikan yang ditanam itu dapat dipetik buahnya, dan sesal yang tiada berguna dapat disingkirkan jauh-jauh.”

Hikayat Indera Bumaya
Syahdan Indera Bumaya pun besarlah, makin elok parasnya, budi bahasanya pun terlalu baik, serta fasih lidahnya dan bijak pula pada barang pekerjaan. Hikmat peperangan pun habis dipelajarinya. Pada suatu malam, Indera Bumaya pun bermimpi dibawa oleh seorang perempuan naik ke keinderaan untuk melihat gambar Puteri Kesuma Dewi. Sesudah melihat gambar itu, Indera Bumaya pun jatuh pingsan tiada khabarkan dirinya. Setelah genap tujuh hari dan tujuh malam barulah ia sadarkan dirinya.
Karena terlalu berahi akan rupa gambar itu, Indera Bumaya lalu memohon izin kepada ayahnya untuk mencari puteri yang dimimpikannya itu.
Tersebutlah perkataan Indera Bumaya mencari puteri idamannya di sebelah matahari mati, keluar masuk hutan rimba yang besar dan padang yang luas. Segala binatang yang buas sekaliannya menundukkan kepala seperti orang memberi hormat kepada raja, Indera Bumaya pun sampai di sebuah gunung yang terlau tinggi lagi besarnya. Seorang perempuan menyuruhnya pergi berguru pada Sri Maharaja Sakti dan belajar hikmat tipu perang dirinya. Dan untuk sampai kepada tempat Sri Maharaja Sakti, Indera Bumaya mesti bertemu dengan Maharesi Antakusa dulu. Sebelum berpisah, perempuan itu masih memberikan Indera Bumaya sebuah guliga yang boleh menjadikan diri berjenis-jenis burung atau guliga yang boleh menjadikan diri berjenis-jenis burung atau bunga melur.
Maharesi Antakusa menyambut kedatangan Indera Bumaya dengan hormat serta memberitahunya, kalau Indera Bumaya hendak beristerikan Puteri Kesuma Dewi ia mesti pergi kepada Maharesi Kesna Candra. Diingatkannya kepada Indera Bumaya supaya jangan jatuh cinta pada seorang perempuan cantik di sebuah rumah di tengah jalan. Sebelum bercerai, Maharesi Antakusa memberikan Indera Bumaya sebuah guliga yang dapat angin, hujan, guruh, petir, serta mengeluarkan rakyat beribu-ribu.
Tersebut pula perkataan Indera Bumaya sudah berjalan sampai di padang Antah Berantah yang terlalu permai rupanya. Di tengah padang itu, Indera Bumaya bertemu dengan serumpun bunga melur dan seekor burung bayan yang pandai berkata-kata. Seketika bermain di padang itu, Indera
Bumaya pun melihat seekor kumbang hijau menjadikan dirinya sebuah rumah dan di dalam rumah itu ada seorang perempuan yang terlalu elok parasnya. Indera Bumaya teringat pesan Maharesi Antakusa dan hendak berjalan keluar, maka dilihatnya padang itu sudah menjadi laut. Indera Bumaya marah dan mengancam akan membunuh perempuan itu. Perempuan itu takut dan memberitahu bahwa namanya ialah Candra Lela Nur Lela. Indera Bumaya lalu mengakuinya sebagai saudara. Puteri Candra Lela pula memberikan Indera Bumaya satu kemala hikmat yang dapat mengeluarkan empat orang jin dari dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar