DIJODOHKAN TUHAN
oleh Wiwin Sarwendah
Kulewati koridor ini dengan penuh semangat. Kutarik nafas panjang sambil kunikmati segarnya udara pagi ini. Sesekali senyum dan sapa kuberikan pada siapa pun yang kebetulan berpapasan denganku. Sebaliknya senyum dan sapa penuh santun kudapatkan dari siswa-siswi yang kebetulan berpapasan atau mendahuluiku karena tergesa-gesa. Aku sangat bahagia hari ini. Bahkan kebahagiaan terasa selalu menyelimuti kehidupanku bersama suami dan seorang bidadari kecilku yang umurnya belum genap setahun. Janji Tuhan memang pasti. Setitik derita melanda yang akhirnya membuahkan segudang kenikmatan. Aku merasa Tuhan benar-benar menganugrahiku suami dan anak yang menyejukkan hati dan mataku. Mungkinkah kebahagiaan ini dirasakan oleh semua keluarga? Entahlah. Tapi aku berharap demikian.
Mungkinkah Tuhan telah mengganti sesuatu yang kurelakan hilang dariku, dengan seseorang yang lebih baik? Toh, sesuatu yang baik menurut makhluk belum tentu baik menurut Tuhan. Dia Maha mengetahui segala yang terbaik untuk hambaNya.
Bel tanda masuk sekolah belum dibunyikan. Ternyata aku datang lebih awal dari biasanya padahal hari ini jam mengajarku mestinya agak siang. Sambil membuka-buka makalah, kudengarkan lagu-lagu dari HPku. Lagu ini mengingatkanku pada masa laluku.
Kala itu, tekadku sudah bulat bahwa aku akan kembali ke pesantren tempatku dulu aku mengenal diriku sendiri. Hanya niat yang melatarbelakangi kebulatan tekadku untuk lajo dari pesantren ke kampus. Ya, niat untuk membantu adik-adik yang tinggal di pesantren itu untuk menemukan sesuatu yang terindah dalam hidup seperti yang pernah kualami. HidayahNYa, yang bisa mengenalkanku pada diriku sendiri dan kurasakan kedamaian pada tiap hembusan nafas.
Beberapa potong pakaian dan beberapa buku kuliahku kubawa ke pesantren. Daftar ulang dan membayar iuran bulanan sangat murah karena di pesantren ini tidak dipungut bayaran sedikitpun kecuali iuran listrik dan air tiap bulan. Pegurus-pengurus pesantren sudah tak asing bagiku, sebaliknya aku juga tak asing bagi mereka karena mereka adalah teman-teman seangkatanku waktu SMA dulu.
“Lho, mbak Wiwin, apa kabar?” sapa Mas Ismail, salah satu pengurus.
“Alhamdulillah baik,” jawabku. Beberapa hari berlalu dengan berbagai hal berarti bagiku, meski kadang kurasakan capek bolak-balik Salatiga-Solo, dan tak jarang aku tertidur di bus.
Hari-haripun berlalu penuh makna. Kini aku dapat amanah sebagai sekretaris di kepengurusan pesantren itu. Sang ketua memilihku menjadi sekretaris karena menurutnya ,konon, aku berkompeten dalam bidang ini. Jadilah aku mengenal sosok Asa karena sebagai seorang sekretaris, mau atau tidak mau aku harus sering bekerjasama dengannya. Sebagai ketua, dia tidak begitu banyak memberi arahan pada pengurus lain. Mungkin dia menganggap bahwa kami sudah terbiasa berorganisasi di kampus. Namun dia banyak memberi contoh, mencontohi tanpa kesan menggurui. Ketika kami salah dia tidak pernah menegur, tapi selalu berupaya agar kami sadar sendiri dengan kesalahan kami. Meski aku sadar dengan berbagai kelebihannya, terutama soal akhlaknya, namun bagiku tetap no comment.
Tak terasa ternyata waktu berjalan cepat. Keletihan setelah seharian beraktivitas di kampus terasa menguap dari tubuhku tatkala memasuki gerbang asrama. Kulihat Asa berada di kantor sekretariat, kebetulan jalan menuju kamarku harus melewati depan kantor. Kudengar kabar bahwa Asa mau berangkat ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan Jambore. Dia merupakan salah satu mahasiswa yang didelegasikan oleh kampusnya. Selama Asa di Jakarta, hati ini merasakan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. Antara kerinduan akan keberadaannya dan nikmatnya hati kala aku bisa menata kerinduan di hati menjadi sebuah motivasi dan evaluasi diri.
Akhirnya kudengar suara Asa lagi setelah beberapa hari. Dia sudah pulang. Hati ini seakan hidup kembali di pagi hari yang sejuk dengan semilir angin dan tetesan embun. Sebuah gantungan kunci beridentitas Jambore Nasional lengkap dengan nama penyelenggara dan tanggal penyelenggaraan kuterima darinya. Konon hanya aku dan sahabat cewek akrabku saja yang mendapatkan oleh-oleh spesial. Terukir nama kami masing-masing di bagian tengah gantungan kunci tersebut. Serasa mendapatkan hadiah emas sebesar monas, bahkan lebih, itulah gambaran hatiku saat itu. Kupasang pada kunci motorku agar aku bisa membawanya ke manapun aku pergi. Aku terbiasa menaruh kunci sepeda motor di saku.
Teman-teman pengurus berencana mengadakan anjangsana ke keluarga pengurus. Tujuannya adalah agar di antara kami lebih akrab dan lebih mengenal latar belakang keluarga. Rencana kami disetujui oleh pengurus yayasan. Dan anjangsana pertama adalah ke rumah ketua, yakni rumah Asa.
Malam anjangsana tiba. Sesampai di rumah Asa, kami membersihkan diri dan mempersiapkan acara pertama, yaitu ramah tamah dengan keluarga tuan rumah. Semenjak itu aku tahu banyak tentang keluarganya. Asa adalah seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia berumur 2 bulan. Akhirnya dia tinggal dengan kakek-nenek, ibu dan seorang kakak laki-lakinya. Ketika kami sempat berbincang-bincang, ibunya bercerita tentang perjuangan mereka dalam menghadapi berbagai cobaan hidup yang mendera. Kehidupan mereka penuh dengan pengalaman pahit. Pantas saja sekarang Asa tumbuh menjadi pria dewasa dalam bersikap. Aku tak kuasa menahan air mata yang menganak sungai dari mataku. Aku merasa ada kedekatan batin antara aku dengan Bu Arni, ibunda Asa. Kehangatan kasih sayangnya pada anak-anaknya bisa kurasakan dari ceritanya. Hal ini membuat hatiku seolah-olah ingin meminta ijin agar aku boleh meletakkan kepalaku di pangkuan Bu Arni. Sungguh, Asa adalah anak yang beruntung karena memiliki seorang ibu dan keluarga yang sangat menyayanginya. Dan Bu Arni juga sungguh beruntung karena memiliki anak yang sangat baik budi pekertinya.
Tuhan, jika engkau mengijinkan aku bisa menjadi bagian dari kehidupan Asa, aku berjanji akan selalu menyayanginya. Akan kuberikan segala sesuatu yang terbaik untuknya. Selama kami berada di rumah Asa, tidak ada kekurangan yang kami temukan. Kami juga menemukan keramahan dari keluarga dan tetangga-tetangga dekatnya.
Sepulang anjangsana, hari-hariku kuwarnai dengan tinta yang agak berbeda dengan biasanya. Kali ini kutambah warna hari-hariku dengan memperbanyak evaluasi dan memperbaiki diri. Aku ingin seperti Asa baik dalam kepribadian maupun dalam prestasi akademik. Aku harus belajar membagi waktu agar urusan kuliah dan tugasku sebagai pengurus asrama bisa berjalan dengan baik.
Perasaan hati yang selama ini kupendam ternyata tercium juga oleh teman-teman dekatku. Dari mereka kutahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Ya, aku memang sedang jatuh cinta, suatu anugrah cinta dari Tuhan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Pernah sih, aku jatuh cinta, bahkan tak hanya sekali. Namun biasanya aku kalau mencintai seseorang, aku mencintainya dengan cinta yang alakadarnya. Namun, apa yang kurasakan sekarang sangat berbeda. Aku benar-benar jatuh cinta.
Rupanya, Asa pun tahu kalau aku jatuh cinta padanya. Meski tidak disampaikan secara langsung, namun dari sikapnya aku tahu bahwa dia mengetahui perasaanku padanya. Dia tidak pernah menyakitiku dan dia selalu bertingkah seolah-olah dia juga jatuh cinta padaku. Hatiku berbunga-bunga saat dia ditemani seorang temannya mengajakku ke aula karena ada hal penting yang ingin dia sampaikan kepadaku. Rasa senang bercampur penasaran menyelimuti hatiku. Angan-anganku terealisasi. Asa mengungkapkan perasaan hatinya kepadaku. Entah seperti apa ekspresi wajahnya kala itu karena kami berbincang-bincang dengan dibatasi korden pembatas ruangan. Memang aneh kedengarannya, tapi memang seperti itulah Asa. Dia selalu menjaga pandangan matanya dari memandang wanita yang bukan muhrimnya. Bahkan saat itu dia berpuasa. Konon, dengan puasa dia bisa lebih menata hati dan pikiran dari pikiran-pikiran buruk dan kotor. Dia memintaku untuk menjaga sikap dan tidak terlalu menampakkan kepada teman-teman dan adik-adik binaan kami bahwa ada perasaan cinta di antara kami. Dia juga menginginkan agar kami selalu memohon petunjuk pada Tuhan, jalan yang terbaik untuk kami.
“Prestasi belajar harus ditingkatkan, dan teruslah belajar untuk bekal di kehidupan selanjutnya, karena untuk menikah, bekal kita masih sangat kurang” katanya. Meski sebenarnya aku masih ragu apakah dia benar-benr mencintaiku atau semua ini hanya aplikasi dari sifat baiknya yaitu selalu membuat orang lain merasa senang, dan berusaha untuk tidak perah menyakiti orang lain. Aku bersyukur pada Tuhan atas karunia cinta ini.
Setelah obrolan kami itu, kumulai hari-hariku dengan selalu memohon segala yang terbaik menurut Tuhan untuk kami. Kupasrahkan cinta kami ini padaNya. Aku yakin Dialah yang bisa menjaga dan membolak-balikkan hati manusia. Kuadukan pada Tuhan di tiap sepertiga malam terakhir segala rindu dan cintaku pada Asa. Kujaga kehormatanku, kupacu prestasiku, kuperbaiki tingkah lakuku, dan kucari restu ibuku dengan sering mengutarakan masalahku mengenai Asa kepada ibuku. Tentunya dengan bahasa yang halus dan berhati-hati agar ibuku bisa mengerti aku. Kudeskripsikan sosok Asa kepada ibuku agar ibuku benar-benar mengenal sosoknya. Hingga akhirnya ibukupun penasaran ingin bertemu dengan Asa.
Anjangsana berikutnya bertempat di rumahku. Ibuku bisa melihat dan mengenal Asa secara langsung. Meskipun Asa tidak tahu kalau ibuku sudah kenal sosoknya melalui ceritaku, penilaian baik tentang sosok Asa kudapatkan dari ibuku. Tentu saja hal ini mengejutkanku karena aku tahu betul watak ibuku. Ibuku adalah sosok yang tidak mudah begitu saja menilai baik orang lain.
Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tidak terasa aku sudah semester tujuh. Sebentar lagi aku harus menempuh mata kuliah Praktik Mengajar dan menyusun skripsi. Agar tidak terlalu capek, aku putuskan untuk indekos saja. Mau tidak mau aku harus berpisah dengan Asa. Biarlah kami tidak bertemu secara lahir, namun batin kami terasa selalu bersama. Aku tidak bisa menahan aliran air mata ketika kuadukan pada Tuhan rasa rinduku pada Asa. Aku benar-benar merindukannya. Rasa rinduku terasa terobati ketika tiap malam Kamis aku ke pesantren untuk mengikuti kuliah ilmu falak. Kebetulan Asa juga mengikuti kuliah tersebut. Meski jarang kami bisa bertatapan langsung, apalagi berbincang-bincang, namun mendengar suaranya ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyan dari guru kami, sudah cukup sedikit mencairkan kebekuan rinduku padanya.
Skripsiku hampir selesai, hari-hariku tidak terlalu disibukkan lagi dengan aktivitas menemui dosen. Hanya sesekali minta tandatangan pengesahan. Bulan Ramadhan tiba, kuperbanyak doa. Dan tentunya doa untuk Asa tidak pernah terlupakan. Ternyata dengan mendoakannya, bisa mengurangi rasa rinduku padanya. Ketika lebaran tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap hari ke tujuh lebaran, pengurus asrama mengadakan silaturrahmi bersama dan sekaligus rekreasi ke tempat wisata terdekat. Kebetulan kami silaturrahmi ke rumah guru-guru kami dan ke rumah Asa. Kamipun mampir ke Kyai Langgeng, sebuah tempat wisata di kota Magelang.
Di tempat wisata, kami boleh kemana saja asalkan kami berkumpul kembali di tempat parkir sesuai waktu yang disepakati. Selama berjalan-jalan menikmati keindahan tiap sudut tempat wisata tersebut, aku mengira Asa mau berjalan bersamaku. Ternyata Asa berjalan dengan Layla. Layla adalah sahabat lama kami yang selama ini kuliah di kota Bandung . Kebetulan lebaran kali ini dia bisa pulang sehingga bisa ikut kegiatan ini. Entah mengapa, aku merasa tidak bisa mengatasi kecemburuan ini. Aku berjalan berdua dengan Wati, sahabat dekatku yang usianya hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Meski Wati baru berumur belasan tahun, namun sikap dan pemikirannya dikenal jauh lebih dewasa di antara kami.
Dari Wati, aku tahu cerita yang sebenarnya. Ya, sebenarnya. Karena aku tahu bahwa Wati sangat menjunjung tinggi kejujuran. Wati mau berkisah tentang hubugan Asa dengan Layla. Ya, ternyata Tuhan juga menganugerahkan cinta di antara mereka berdua. Aku semakin percaya dengan apa yang disampaikan Wati setelah aku meminta Sena, teman dekatku juga, untuk menceritakan dengan jujur apa yang Sena ketahui tentang Layla dan Asa. Ternyata jawabannya tidah jauh berbeda dengan Wati. Aku jadi teringat, beberapa bulan yang lalu, ketika aku membuka-buka buku agenda Asa yang tertinggal di kantor, aku sempat membaca sebuah puisi. Puisi yang tak berjudul dan tak tertulis nama penulisnya. Namun di bagian akhir puisi tertulis sebuah website Layla_ orchid@ Plasa. Com.
Hati ini terasa sakit. Semangat hidup seakan menguap dari tubuhku. Akal sehatku malas berperan. Bahkan untuk melihat sosok Asa pun aku merasa muak. Aku pulang dengan berselimut kekecewaan. Aku ingin menangis sampai puas. Ibuku heran melihat segala tingkahku. Aku tak bisa menahan semua ini sendiri. Aku bercerita pada ibuku. Ibu juga tidak bisa menahan tetesan air matanya meski dia terlihat berusaha untuk tegar.
Beberapa hari aku menyendiri dengan penuh koreksi diri. Aku menyadari kekurangan-kekurangan pada diriku. Layla lebih cantik dariku, lebih cerdas, lebih kaya, dan mungkin dia lebih membutuhkan sosok Asa. Dengan segala cintaku, aku berharap Asa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Begitupun sebaliknya. Semangatku tumbuh kembali. Aku percaya bahwa Tuhan memiliki rahasia yang tersimpan dari semua kejadian yang kualami. Tuhan pasti akan memberikan yang lebih baik untukku. Meskipun sosok Asa begitu sempurna di mataku, tapi belum tentu tepat untukku.
Hari-hari berikutnya aku sangat disibukkan dengan persiapan wisudaku dan kesibukanku mengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas di Salatiga. Kerinduanku pada Asa telah memudar dan hampir tidak berbekas lagi. Kami pun jarang bertemu maupun berkomunikasi.
Di tengah kesibukanku di tempatku mengajar, aku mendapatkan tugas untuk mengikuti kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMA se-Salatiga atau yang sering disebut MGMP. Sebagai anggota yang baru pertama kali mengikuti kegiatan ini, aku dan beberapa guru dari sekolah lain diharuskan memperkenalkan diri. kami berkenalan secara bergantian.
Kegiatan ini berlanjut menjadi kegiatan rutin sebulan sekali. Biasanya kegiatan diisi dengan pelatihan menyusun perangkat pembelajaran dan materi-materi lain yang kami butuhkan. Dari intensitas pertemuan inilah, aku mengenal Pak Adfar, seorang guru dari SMA favorit di kotaku. Pak Adfar sering membantuku dan juga membantu teman-temannya yang masih kesulitan menyelesaikan tugas-tugas dari trainer kami. Dia seorang yang baik hati dan tidak sombong, menurutku. Beberapa bulan berlalu, hingga akhinya Pak Adfar mengungkapkan isi hatinya padaku. Dia mengajakku untuk menikah. Wow... sesuatu yang sama sekali tidak kuduga sebelumnya karena aku merasa masih sangat hijau untuk urusan yang satu ini.
Dengan berbagai pertimbangan, baik pertimbangan dari diriku sendiri, orang tuaku, dan juga pertimbangan dari guru mengajiku yang sangat aku percayai kebaikannya, dan juga perkenalan kurang lebih sebulan, akhirnya aku menerima lamaran Pak Adfar. Ya, aku menerimanya karena setelah kurang lebih sebulan kuhabiskan tiap-tiap sepertiga malam terakhir untuk bermunajat memohon petunjuk-Nya. Hatiku merasa yakin, mungkin dialah seorang yang terbaik yang dianugrahkan Tuhan untukku. Kami menikah dan Asa hadir pada resepsi pernikahanku meski tidak aku undang. Sambil tersenyum dan terlihat tulus, dia memberiku ucapan selamat dan mendoakan semoga kami bahagia dan pernikahan kami penuh berkah-Nya.
Hingga sekarang, aku masih percaya bahwa Asa adalah sosok yang sangat baik. Tuhan mengabulkan doanya, karena hingga sekarang, dan semoga selamanya, aku merasa pernikahan kami penuh keberkahan.
Teet... Teet... bel tanda pergantian jam mengajar mengagetkan lamunanku. Tibalah saatnya aku harus masuk kelas. Ya Tuhan ... tidak terasa sudah beberapa menit kuhabiskan waktuku untuk melamun. Dengan langkah cepat, kulewati koridor panjang sampai ke kelas yang akan kumasuki. HPku bergetar tanda ada sms masuk. Sambil berjalan kubuka sms itu.
Assalamu’alaikum, selamat pagi bu guru, mohon kehadiran mbak wiwin sekeluarga dalam acara resepsi pernikahan kami yang akan dilaksanakan pada besok minggu jam 10 – selesai di rumahku, kehadiran mbak sekeluarga sangat kuharapkan, makasih
Maha Besar Tuhan, sms tadi memberi PR rasa penasaran bagiku tentang siapakah sosok pendamping Asa? Apakah Layla? Atau gadis lainnya? Entahlah. Aku ingin waktu berjalan cepat hingga hari Minggu tiba.
«««
Tidak ada komentar:
Posting Komentar