Jumat, 19 November 2010

Contoh esai sosial

BULAN CERAH BULAN KELABU
Oleh Muhlasin, S.Pd
Pernah sepulang solat maghrib dari masjid, saya menunjukkan bulan yang masih sabit kepada putriku. Saya membopongnya sementara isteriku membawakan tas mukenanya. Tapi komentarnya ternyata di luar dugaanku dan barangkali beberapa orang yang pulang bersama kami.
“Pak, bulannya rusak ya?” begitu celotehnya sambari menunjuk bulan sabit di ufuk barat kami. Kontan saja kami tertawa mendengarnya.
Memang, bulan sangat menarik untuk dibicarakan. Satelit bumi ini telah mengilhami penyair-penyair profesional maupun amatiran yang sedang belajar membuat syair sejak dulu dan mungkin kelak saat kiamat. Beberapa penulis lagu dan penyanyinya juga sering mendendangkan benda langit kuning itu.
Bagi beberapa orang, dia menjadi lambang keindahan, kecantikan dan keanggunan. Tentu kita sering mendengar ungkapan ketika seotrang pria merayu pujaan hatinya: wajahmu bagaikan bulan purnama. Dan yang dirayu pun cuma bisa menunduk malu. Tersipu. Lantas bila rayuannya bisa berujung pernikahan akan datang tawaran selanjutnya: berbulan madu. Ah, manis sekali. Bulan ada madunya! Bahkan bulan yang satu ini menjadi peket bisnis yang menggiurkan bagi para pengelola hotel dan pariwisata.
Ternyata terminologi bulan madu sudah bukan menjadi monopoli pengantin baru. Kini, dalam dunia politik dikenal pula istilah bulan madu. Bila satu partai berhasil memenangkan pemilu karena didukung koalisi partai, pada awal-awal pemerintahan koalisi partai itu akan menikmati bulan madu. Tapi, seperti halnya pasangan suami-istri yang makin lama kehilangan manis bulan madunya, pertengkaran dan mungkin perselingkuhan akan terjadi. Lebih parah lagi bisa berujung perceraian.
Legenda yang berkaitan rembulan juga telah ada. Pernahkah Anda mendengar kisah seekor kelinci yang karena tulus berkorban pada seorang pertapa lantas diabadikan oleh seorang peri-bidadari dengan memahatkan siluetnya di bulan purnama? Cobalah sesekali Anda mengamati bulan purnama dan barangkali Anda pun akan menemukan siluet kelinci tersebut. Tapi kalau tidak menemukan jangan lantas memvonisnya sebagai tahayul atau cerita omong kosong. Karena, sekali lagi, itu cuma sekadar cerita pengantar tidur atau pelepas lelah.
Secara ilmiah, keberadaan bulan ini sudah diajarkan semenjak sekolah dasar. Di tingka ini, guru kelas sudah mengenalkan pengaruh bulan terhadap bumi. Dikatakan, saat bulan purnama air laut mengalami pasang naik. Bahkan dalam dunia seksologi keberadaan sang rembulan ini juga menjadi perhatian. Konon, manakala purnama penuh, libido manusia meningkat berlipat-lipat dibanding saat langit gelap gulita tiada sang bulan.
Namun, ternyata tidak selamanya bulan menggambarkan keindahan. Tidak percaya? Allah, dalam Alquran, melarang hambanya yang beriman berhubungan intim manakala si isteri sedang datang bulan. Ah, ternyata ketika bulan mendatangi isterinya, sang suami mesti gigit jari beberapa hari!
Ketidakindahan bulan tidak hanya dialami seorang suami, tapi banyak orang turut merasakannya. Dalam ekonomi keluarga manakala sedang tanggung bulan, seorang istri sebagai manajer keuangan mesti berpikir ulang untuk membelanjakan uangnya. Maklum, tanggal tua alias tanggung bulan.
Dalam lingkungan kerja, baik di kantor negeri maupun swasta para pegawai pun memasang wajah “kelabu” jika menginjak tanggung bulan. Lain bila awal bulan alias tanggal muda. Wajah cerah, sumringah, dan melakukan tugas atau kewajiban penuh semangat 45. Maklum sedang tiba saatnya bulan merah jambu.
Bulan-bulan yang dinantikan para PNS, TNI-Polri adalah bulan Agustus saat Presiden menyampaikan nota keuangan di hadapan para wakil rakyat yang konon terhormat. Yang dinanti adalah apakah pemerintah akan menaiikkan gaji mereka? Kalau naik, berapa persen? Ketika dinyatakan naik bukan main senang mereka. Lain halnya dengan perekonomian mikro. Ibu-ibu rumah tangga, rakyat kecil maupun buruh justru menjerit sakit. Mau tak mau mereka harus menerima kenaikan harga yang diperhalus istilahnya (eufemisme) menjadi penyesuaian harga.
Tapi penyesuaian harga ini ternyata tidak melulu pascakenaikan gaji PNS. Buktinya, saat bulan Ramadan tiba harga-harga kebutuhan merangkak naik dan mencapai klimaksnya menjelang lebaran. Kalau yang ini konon berdasarkan hukum pasar, yakni permintaan meningkat dan persediaan terbatas maka dengan sendirinya harga ikut naik.
Namun demikian, meski semua kebutuhan naik, terlepas apakah masyarakat paham adanya kartel ekonomi atau tidak, mereka tetap bersuka cita menyembut bulan yang penuh berkah ini. Marhaban, ya Ramadan....
Selengkapnya...

Soal Sastra Indonesia kelas XI Bahasa

PEMERINTAH KOTA SALATIGA
DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA DAN OLAH RAGA
SMA NEGERI 1 SALATIGA
Jalan Kemiri 1  (0298) 326867 Salatiga
LEMBAR SOAL
TES TENGAH SEMESTER 2 TAHUN PELAJARAN 2008 / 2009

Mata Pelajaran : Sastra Indonesia
Kelas / Program : XI/ Bahasa
Hari, Tanggal : Senin, 27 April 2009
Waktu : 09.30 – 11.00 (90 menit)

Bacalah penggalan cerpen berikut!
Aku tahu emak tentu tidak akan datang. Tidak mau, katanya tidak pantas. "Sekolah itu kan tempat priyayi Iho, Gus.Emakmu ini apakah,. ndak ilok kalau berada di tempat itu."
"Oalah, Mak, Mak! Priyayi itu zaman dulu, sekarang ini orang sama saja, yang membedakcm itu kan isinya," aku menekan telunjuk ke keningku.
"Itulah Gus yang Emak maksudkan priayi. Emak tidak mau ke tempat yang angker itu. Nanti Emakmu ini hanya akan jadi tontonan saja, karena plonga-plongo kayak kerbau.Kasihan kamu, Gus."
(Agus Fakri H, Emak yang Perkasa)
1. Watak tokoh Emak dalam penggalan cerpen di atas adalah ....
A. jujur, baik, pengertian
B. rendah hati, rendah diri
C. tidak sombong, baik, optimis
D. penuh pengertian, lugu
E. rendah hati, lugu, penuh pengertian
Cermati penggalan cerita rakyat di bawah ini!

Tetapi Sangkuriang tidak mengakui wanita jelita itu sebagai ibunya. "Bagaimana mungkin engkau puteri remaja mungil itu, menjadi ibu aku yang tinggi besar serta perkasa! Tentu akalmu saja untuk menolak lamaranku maka engkau mengatakan hal itu."
"Tidak, engkaulah anakku! Anak yang pernah kukandung dalam rahimku, lalu kulahirkan sendiri. Engkau anak yang dahulu kususui pada dadaku kutimang dengan tanganku."
"Engkau boleh berkata semaumu, tetapi aku menolak pengakuan bahwa aku ini anakmu. Aku adalah laki-laki yang mencintaimu dan sekarang melamarmu untuk dipersunting sebagai istriku."

2. Nilai moral yang terdapat dalam penggalan cerita di atas adalah ....
A. Anak yang selalu membantah kehendak orang tua
B. Anak yang tidak mau menuruti nasihat orang tua
C. Anak yang melupakaji orang tuanya.
D. Anak yang selalu, membanggakan keberhasilan dirinya
E. Anak yang berbohong untuk kepuasan dirinya

Cermatilah penggalan cerpen berikut!

Kalau begitu mengapa Syarifudin meninggal pada hari kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak keluar darilukanya. Syarifudin kan juga penurut. Pendiam. Setengah bulan, hampir, dia mengurung diri karena kau mengatakan kelakuan abangnya sehari sebelum disunat itu. Aku tidak percaya jika hanya oleh melompat-lompat dan berkejaran sebelum malam penuh. Aku tidak percaya itu. Aku mulai percaya desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilu
luka sunatan anak-anak kita. Aku mulai yakin, mereka menaruh racun di pisau dukun-dukun itu.
Kalau benar begitu, apalagi yang sekarang mereka sakitkan hati? Aku telah lama mengubah sikapku. Tiap ada derma, aku sumbang. Tiap kesusahan, aku tolong. Tidak seorang dari mereka yang tidak kuundang dalam pesta tadi malam. Kau lihatkan, tiga teratak itu penuh mereka banjiri. Aku yakin mereka telah menerimaku, memaafkanku.
(Hamzad Rangkuti, Panggilan Rasul)
3. Tema atau pokok masalah yang tersirat dalam penggalan cerita pendek di atas adalah ....
A. Dampak kekikiran, ketamakan, keangkuhan, dan kesombongan.
B. Kekikiran, ketamakan, keangkuhan, dan kesombongan yang diperbuat dukun.
C. Kesadaran untuk mengubah sikap dari tidak baik menjadi baik.
D. Kepercayaan adanya kematian dikaitkan dengan guna-guna dari dukun.
E. Ganjaran/balasan bagi orang yang kikir, tamak, sombong, dan angkuh.

Penggalan di bawah ini untuk soal no. 4 dan 5

“Aku tak berdosa, tak ada yang harus aku akui kata, pikir Sanip. Aku tak punya dosa yang mesti aku akui, kata Talib dalam hatinya. Aku tak punya dosa, kata Sutan pada dirinya.
Buyung menyuruh hatinya dan pikirannya diam, jangan mengingatkannya pada dosa-dosanya.
Pak Haji juga demikian.
(Muchtar Lubis, Harimau-Harimau)
4. Watak tokoh Sanip, Talib, Sutan, Buyung, dan Pak Haji dalam kutipan novel
tersebut adalah ....
A. munafik
B. jujur
C. penakut
D. sabar
E. alim
5. Penggambaran watak tokoh Sanip, Talib, Sutan, Buyung, dan Pak Haji dalam
kutipan novel tersebut digambarkan pengarang melalui ....
A. penjelasan langsung (tertulis)
B. dialog antartokoh
C. tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama
D. pikiran-pikiran dalam hati tokoh
E. lingkungan di sekitar tokoh

Perhatikan kutipan berikut!
Pak Balam kemudian terdengar berkata dengan suara seperti orang mengigau, ”Awas, harimau itu dikirim oleh Tuhan untuk menghukum kita yang berdosa – awas harimau – dikirim Allah – awas harimau – akuilah dosa-dosa kalian – akuilah dosa-dosa kalian – akuilah dosa-dosa kalian.”
(Muchtar Lubis, Harimau-Harimas)
6. Amanat yang tersirat dalam kutipan tersebut adalah ...
A. Setiap orang pasti mempunyai dosa, mulai dari dosa kecil sampai dengan dosa besar.
B. Dosa yang telah dilakukan oleh seseorang tidak akan dapat disembunyikan, pasti akan ketahuan.
C. Akui dan minta ampunlah atas dosa yang telah diperbuat karena Tuhan pasti akan membalas perbuatan dosa itu.
D. Tidak baik menutup-nutupi dosa orang yang telah dilakukan karena suatu saat dosa itu pasti akan diakui juga.
E. Hindarilah dirimu dari segala dosa karena Tuhan akan menghukum orang yang berbuat dosa tersebut.

Mereka melihat harimau melepaskan Pak Balam dan terus berlari, menghilang ke dalam hutan yang gelap. Dengan cepat mereka berlari ke tempat Pak Balam terbaring. Dalam cahaya samar-samar dari pohon kayu yang menyala, mereka melihat betapa kaki kiri Pak Balam hancur betisnya karena gigitan harimau, daging dan otot betisnya koyak hingga kelihatan tulangnya yang putih dan darah mengalir amat banyak.
Pak Balam koyak-moyak, dan seluruh badannya penuh dengan luka-luka kecil dan gores-gores merah kena duri, batu, dan kayu ketika dilarikan harimau. Mukanya berdarah. Darah keluar dari hidungnya, dari mulutnya. Pak Balam kelihatannya pingsan, tak sadar diri, dia hanya terbaring di sana mengerangngerang.
(Muchtar Lubis, Harimau-Harimau)
7. Latar Novel Harimau-Harimau, karya Muchtar Lubis:
1) malam hari
2) cahaya bulan samar-samar
3) di kegelapan malam
4) berduka dan berkabung
5) kritis dan mencekam
Latar yang sesuai dengan kutipan yang tersaji pada ringkasan tersebut adalah ....
A. nomor 1, 2, dan 3
B. nomor 2, 3, dan 4
C. nomor 3, 4, dan 5
D. nomor 1, 2, dan 4
E. nomor 1, 3, dan 5

Tak lama kemudian Wak Katok menyusul aku, dan kami berangkat ke tempat persembunyian. Aku tak pernah menanyakan kepada Wak Katok apa yang terjadi dengan Sarip. Aku tahu apa yang terjadi. Wak Katok kembali ke pondok dan membunuh Sarip dan melempar Sarip ke sumur. Ini aku ketahui kemudian setelah pemberontakan dikalahkan oleh Belanda. Tetapi, aku tak pernah membicarakannya dengan Wak Katok. Sejak hari itu hingga saat ini, barulah kini aku menceritakan hal ini.
(Muchtar Lubis, Harimau-Harimau)
8. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam kutipan novel tersebut adalah ....
A. orang pertama tokoh utama
B. orang pertama sebagai pengamat
C. orang pertama dan orang ketiga
D. orang ketiga serba tahu
E. orang ketiga terarah

Dari sebuah kantung di dalam keranjang besarnya, Wak Katok mengeluarkan daun ramu-ramuan. Mereka membersihkan luka-luka Pak Balam dengan air panas dan Wak Katok menutup luka besar di betis dengan ramuan daun-daun yang kemudian mereka membungkus dengan sobekan kain sarung Pak Balam. Wak Katok merebus ramuan obat-obatan sambil membaca mantera-mantera, dan setelah air mendidih, air obat dituangkan ke dalam mangkok dari batok kelapa.Setelah air agak dingin, Wak Katok meminumkannya kepada Pak Balam sedikit demi sedikit.
(Muchtar Lubis, Harimau-Harimau)
9. Masalah yang diungkapkan dalam kutipan tersebut adalah ....
A. kesetiakawanan
B. pengobatan
C. pengkhianatan
D. kebudayaan
E. penderitaan

“Beberapa bulan lagi Badri akan genap tiga puluh tahun. Dibandingkan dengan angkatannya, ia sudah dipandang sangat terlambat memperoleh istri. Bukan karena telunjuknya bengkok atau kopong, melainkan karena idealismenya yang meluap-luap dalam lapangan sosial dan kebudayaan. Ketika ia menyadari bahwa perjuangan takkan selesai meski ia akan hidup terus sebagai jejaka, namun untuk memperoleh seorang istri tidaklah begitu mudah baginya. Ada tiga macam halangan yang tak begitu mudah ditemus akal sehatnya.”
10. Tokoh Badri dalam penggalan cerpen di atas berwatak....
A. terlalu perhitungan
B. idealis
C. berprinsip
D. sangat emosional
E. sombong

Puisi berikut untuk soal nomor 11 - 14
Sajak Palsu
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanglah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop untuk sambil berjanji palsu,
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.

11. Tema puisi di atas adalah ...
A. kritik sosial
B. nasionalisme
C. keberadaban
D. demokrasi
E. budaya korupsi

”... terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu ...”

12. Majas yang digunakan penyair pada baris di atas adalah ....
A. Metafora
B. Hiperbola
C. Paradoks
D. Personifikasi
E. litotes

13. Nada dan suasana yang tergambar dalam puisi di atas adalah ....
A. ejekan dan bangga
B. sindiran dan keprihatinan
C. sadisme dan penuh kebencian
D. sinisme dan kepalsuan
E. cemooh dan krisis

14. Imaji yang paling kuat ditimbulkan dari puisi di atas adalah ....
A. Demokrasi telah terbangun dalam kancah politik.
B. Runtuhnya pemerintahan akibat ketidakadilan.
C. Berbagai kepalsuan terjadi dalam kehidupan di negeri ini namun sering tidak disadari.
D. Krisis terjadi karena kebobrokan moral bangsa
E. Demi kepentingan pribadi, ketidakjujuran merupakan hal biasa.
Bacalah puisi berikut dengan cermat!

Derai angin kadang datang tiba-tiba
Meluruhkan dedaunan dan menusuk
batang-batang kayu jati
Dia berkata pada daun:
Jangan sedihkan layunya
helaimu yang menguning
Sedihkan saat manusia
mencabik dan mematahkan dahan
tempatmu bergantung
Dian R.
15. Amanat puisi di atas adalah …
A. Kayu jati perlu dilindungi.
B. Setiap pepohonan perlu dipelihara agar tidak layu.
C. Manusia hendaknya tidak merusak keseimbangan lingkungan.
D. Manusia jangan sedih apabila mendapati pepohonan yang rusak.
E. Dahan pepohonan tidak boleh diganggu.
Puisi berikut untuk soal nomor 16 dan 17

Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan
(Sitor Situmorang)

16. Pengindraan yang dipakai oleh pengarang adalah ….
A. Penglihatan
B. Peraba
C. perasa
D. penciuman
E. pendengaran

17. Pengarang melambangkan kegembiraan pada puisi di atas dengan kata ….
A. malam dan kuburan
B. di atas kuburan
C. kuburan dan malam
D. kuburan dan lebaran
E. bulan dan lebaran

Bacalah puisi berikut dengan cermat!

Penyair Penggung
Untuk Landung Simatupang
Tubuhnya lebih dari puisi,
penuh getar dan getir bunyi.

Sekali ia menyentuh panggung,
waktu seakan dihajar terung.

Di remang ruang tubuhnya menyala,
sehingga sunyi terlihat jelas posturnya.
(2004)
karya Joko Pinurbo,”Kekasihkku”
18. Penginderaan pendengaran ditunjukkan dengan kata….
A. menyentuh panggung
B. dihajar terung
C. tubuhnya menyala
D. sunyi
E. terlihat jelas posturnya

19. Matakata
Matakata menyala terlihat jelas di mata pena
(2004)
karya Joko pinurbo,”Kekasihku”
Kata “menyala” dalam puisi di atas melambangkan….
A. kesedihan
B. penerangan
C. kegembiraan karena datang seorang penolong
D. kemarahan
E. keputusasaan

Tuhan Telah Menegurmu
Karya Apip Mustofa
Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
lewat perut anak-anakmu yang kelaparan
Tuhan telah menegurmu
lewat semayup suara adzan
Tuhan telah menegurmu dengan telah cukup menahan kesabaran
lewat gempa bumi yang bergoncang
deru angin yang meraung-raung kencang
Hujan banjir yang melintang pukang

Adakah aku dengar?

20. Suasana yang tergambar dalam puisi di atas adalah….
A. sunyi
B. sepi
C. prihatin
D. putus asa
E. marah


Bacalah puisi berikut dengan cermat!
Doa

O Bapak Kapak
beri aku leher-leher panjang
biar kutetak
biar ngalir darah resah
ke sanggup laut
Mampus
Sutardji Calzoum Bachri
21. Tema dari puisi di atas adalah…
A. Seseorang yang memohon umur panjang agar bisa menebus dosanya.
B. Seseorang yang ingin kembali kepada Tuhan.
C. Seseorang yang mendoakan bapaknya.
D. Seseorang yang mendekatkan diri kepada Tuhan.
E. Seseorang yang memohon ampunan kepada Tuhan.

Puisi berikut untuk soal nomor 22 - 24
Teratai

Kepada Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri, Laksmi mengarang
Biarpun ia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o, Teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar sedikit penjaga taman
Biarpun engkau tidak dilihat,
Biarpun engkau tidak diminati
Engkau pun turut menjaga jaman.

( Sanusi Pane)

22. Tema puisi di atas adalah….
A. Keindahan
B. kegembiraan
C. kepahlawanan
D. kekaguman
E. kesedihan

23. Amanat yang ingin disampaikan dalam puisi “Teratai” adalah…
A. Rela disisihkan dan diabaikan untuk memajukan bangsa.
B. Para pahlawan ibarat bunga teratai yang dikagumi orang.
C. Hargailah jasa para pahlawan yang telah membela bangsa.
D. Bunga teratai dan seroja adalah bunga yang disukai orang.
E. Rela berkorban demi bangsa dan negara.

24. Baris puisi “Teratai” yang menyatakan bahwa ajaran Ki Hajar Dewantara yang sangat bermanfaat pada setiap orang adalah…
A. Daun bersemi, Laksmi mengarang.
B. Seroja kembang gemilang mulia.
C. Tersembunyi kembang indah permai.
D. Akarnya tumbuh di hati dunia.
E. Engkau pun turut menjaga jaman.

Adapun Maharaja Rawana ini telah mendengar warta kabar orang akan isteri Seri Rama, tuan putri sekuntum Bunga Setangkai namanya, pada negeri Tanjung Bunga, terlalu baik parasnya dan manis sebarang lakunya, tiadalah tolok bandingnya seluruh negeri Tanjung Bunga itu.
(Hikayat Seri Rama)
25. Dari penggalan hikayat di atas, isi paragraph tersebut adalah…
A. Perselingkuhan Maharaja Rawana dengan Tanjung Bunga.
B. Keterkenalan Tanjung Bunga akan cantik paras dan lakunya.
C. Kehebatan Maharaja Rawana.
D. Jatuh cintanya Maharaja Rawana pada Tanjung Bunga.
E. Kecantikan Tanjung Bunga yang terkenal kemana-mana.

Maka berapa lamanya, maka Hujah Maimun itu menjadi lima belas tahun, maka dipinangkan oleh Hujah Mubarok anak seorang saudagar, amatlah kayanya, dalam Negeri Ajam itu juga, dan anaknya itu amatlah elok parasnya, namanya Bibi Zaenab. Maka Hujah Maimun itu dinikahkan dengan anak saudagar itu. Maka duduklah Hujah Maimun berkasih-kasihan dengan istrinya Bibi Zaenab itu.
(Hikayat Bayan Budiman)
26. Dari penggalan hikayat di atas, tema yang tepat adalah…
A. Pernikahan yang dipaksakan.
B. Nikah muda Hujah Maimun.
C. Pengelanaan cinta Hujah Maimun.
D. Pernikahan atas ketentuan orang tua.
E. Orang tua yang terallu otoriter.

Setelah datangnya umurnya Hujah Maimun lima tahun, maka terlalulah baik pekertinya serta bijaksana. Maka diserahkan oleh bapanya Hujah Maimun mengaji kepada mualim Subyan.
(Hikayat Bayan Budiman)
27. Kebiasaan orang tua untuk menyekolahkan atau mengikutkan anaknya kepada guru tertentu pada jaman dahulu adalah termasuk….
A. nilai moral
B. nilai religi
C. nilai adat
D. nilai social
E. nilai humanities

Maka raja gajah pun heranlah, seraya katanya,”Ada juga rupanya kebesaran pelanduk jenaka itu maka segala isi rimba takluk kepadanya itu. Maka jikalau demikian, baiklah aku coba kesaktian dan ilmunya itu. Jika aku kalah olehnya, takluklah aku kepadanya dan jika aku menang, niscaya aku dipuji oleh segala rimba ini.”
(Hikayat Pelanduk Jenaka Menundukkan Raja Gajah)
28. Berdasarkan penggalan hikayat di atas, watak tokoh raja gajah adalah….
A. tinggi hati
B. sabar
C. jenaka
D. besar kepala
E. alim

29. Dari penggalan hikayat pada soal nomor 28 di atas, nilai moral yang positif yang dapat kita ambil adalah…
A. Kita harus berbangga hati.
B. Kita harus tunduk kepada orang lain.
C. Kita harus percaya pada diri sendiri.
D. Kita harus menepati janji yang kita ucapkan.
E. Jangan meremehkan orang lain.

Penggalan drama berikut untuk soal nomor 30 - 32
….
Kutipan pertama
Sutopo : (berhenti menulis memandang Citra) Makin lama makin cepat juga mengetik, Dik.
Citra : (agak malu) Kapan Mas yang jadi guruku?
Sutopo : (tersenyum) Ya, kita akan bekerja lagi sekuat tenaga kita, Dik. Sudah empat bulan pabrik kita terhenti, karena perang. Sekarang Pemerintah Balatentara memberi lagi kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja terus. Zaman pembangunan sudah datang.
Citra : Mas suka mempermain-mainkan aku. Mana pula aku akan dapat menolong, aku cuma anak desa yang bodoh, dilahirkan untuk bekerja di dapur. Aku cuma anak pungut.
(Citra, Usmar Ismail)
30. Dari penggalan naskah drama di atas, watak tokoh Citra adalah….
A. rendah diri
B. rendah hati
C. pemarah
D. tidak pernah puas
E. mengalah

31. Konflik yang mendasari penggalan drama di atas adalah…
A. Pemberhentian pabrik Sutopo oleh Pemerintah Balatentara.
B. Sutopo sudah empat bulan tidak bekerja.
C. Citra yang tidak pernah membantah Sutopo.
D. Ketidakpercayaan Citra terhadap Sutopo.
E. Sutopo telah berselingkuh dengan Citra.

32. Amanat yang dapat kita ambil dari penggalan drama di atas adalah…
A. Mencari pekerjaan lain begitu di-PHK.
B. Selalu belajar.
C. Sadar terhadap perkembangan jaman.
D. Menjadi istri yang baik.
E. Pentang menyerah dan bekerja keras.

Penggalan drama berikut untuk soal nomor 33 - 34
….
Tempat ketjelakaan itu didjaga oleh seorang agen polisi jang mundar-mandir mengawasi segala-galanja. Dari belakang keliatan samar-samar masuk seorang perempuan bertudung hitam, membungkuk-bungkuk seolah-olah dan mentjari-tjari sesuatu. Tiba-tiba ia membungkuk tjepat, meraba-raba dalam abu, lalu mengeluarkan sebuah buku ketjil jang rupanja luput dari api. Pada waktu itu masuk agen polisi tadi.
Agen polisi : (berseru) Hai siapa itu?
Perempuan : (seolah-olah tidak mendengar mulai membalik-balik buku itu di dekat lampu)
….
(Usmar Ismail, Api)
33. Latar dari penggalan drama di atas adalah….
A. tempat kecelakaan mobil
B. tempat pembuanagn sampah
C. tempat kebakaran
D. tempat kecelakaan
E. kantor polisi

34. Dari penggalan drama di atas suasana yang tergambar adalah….
A. ramai
B. hening
C. menegangkan
D. mengerikan
E. mengharukan
Penggalan drama berikut untuk soal nomor 35 dan 36

Ibu : (Datang mendekati anaknya yang berbaring di dipan. Dipegangnya dahi anaknya, kemudian menggeleng-geleng) “ Belum juga berkurang!”
Ayah : (Yang berada di belakang istrinya) “ Bagaimana, Bu, sudah berkurang panasnya?”
Ibu : “ Saya heran, Pak! Apa sebenarnya penyakit anak ini? Anak kita satu-satunya.”
Ayah : “ Kalau melihat ia sering mengigau itu … nampaknya ada hubungannya dengan peristiwa kematian Kusnadi.”
Ibu : “ Sssst! Jangan dihubung-hubungkan dengan itu, Pak!”
Ayah : “ Mungkin ia takut pada hantunya, Bu. Karena sudah beberapa kali ia diganggunya.”
………
(Himpunan Materi Seni Sastra)

35. Watak tokoh ayah dalam penggalan drama di atas adalah ….
A. percaya pada takhayul
B. penakut
C. tidak bisa diam
D. mudah cemas
E. pemberani


36. Suasana yang tampak pada penggalan drama di atas adalah….
A. mengharukan
B. menegangkan
C. menyedihkan
D. menakutkan
E. menyenangkan

37. Penulisan Aku belajar agar menjadi anak pandai yang benar adalah...
A.
B.
C.
D.
E.
38. Penulisan kata ulang berkejar-kejaran, berlari-larian, berkilau-kilauan yang benar adalah ...
A.
B.
C.
D.
E. .
39. Penulisan matahari terbit ketika kokok ayam bersahut-sahutan yang benar adalah ...
A.
B.
C.
D.
E.
40. Hasil dari ١٤٣٧ + ٨٢١ adalah …
A. 2199
B. 9647
C. 9192
D. 7469
E. 2258
Selengkapnya...

Kamis, 11 November 2010

karya-karyaku


DIJODOHKAN TUHAN
oleh Wiwin Sarwendah

Kulewati koridor ini dengan penuh semangat. Kutarik nafas panjang sambil kunikmati segarnya udara pagi ini. Sesekali senyum dan sapa kuberikan pada siapa pun yang kebetulan berpapasan denganku. Sebaliknya senyum dan sapa penuh santun kudapatkan dari siswa-siswi yang kebetulan berpapasan atau mendahuluiku karena tergesa-gesa. Aku sangat bahagia hari ini. Bahkan kebahagiaan terasa selalu menyelimuti  kehidupanku bersama suami dan seorang bidadari kecilku yang umurnya belum genap setahun. Janji Tuhan memang pasti. Setitik derita melanda yang akhirnya membuahkan segudang kenikmatan. Aku merasa Tuhan benar-benar menganugrahiku suami dan anak yang menyejukkan hati dan mataku. Mungkinkah kebahagiaan ini dirasakan oleh semua keluarga? Entahlah. Tapi aku berharap demikian.
Mungkinkah Tuhan telah mengganti sesuatu yang kurelakan hilang dariku, dengan seseorang yang lebih baik? Toh, sesuatu yang baik menurut makhluk belum tentu baik menurut Tuhan. Dia Maha mengetahui segala yang terbaik untuk hambaNya.
Bel tanda masuk sekolah belum dibunyikan. Ternyata aku datang lebih awal dari biasanya padahal hari ini jam mengajarku mestinya agak siang. Sambil membuka-buka makalah, kudengarkan lagu-lagu dari HPku. Lagu ini mengingatkanku pada masa laluku.     
Kala itu, tekadku sudah bulat bahwa aku akan kembali ke pesantren tempatku dulu aku mengenal diriku sendiri. Hanya niat yang melatarbelakangi kebulatan tekadku untuk lajo dari pesantren ke kampus. Ya, niat untuk membantu adik-adik yang tinggal di pesantren itu untuk menemukan sesuatu yang terindah dalam hidup seperti yang pernah kualami. HidayahNYa, yang bisa mengenalkanku pada diriku sendiri dan kurasakan kedamaian pada tiap hembusan nafas.
Beberapa potong pakaian dan beberapa buku kuliahku kubawa ke pesantren. Daftar ulang dan membayar iuran bulanan sangat murah karena di pesantren ini tidak dipungut bayaran sedikitpun kecuali iuran listrik dan air tiap bulan. Pegurus-pengurus pesantren sudah tak asing bagiku, sebaliknya aku juga tak asing bagi mereka karena mereka adalah teman-teman seangkatanku waktu SMA dulu.
Lho, mbak Wiwin, apa kabar?” sapa Mas Ismail, salah satu pengurus.
 “Alhamdulillah baik,” jawabku. Beberapa hari berlalu dengan berbagai hal berarti bagiku, meski kadang kurasakan capek bolak-balik Salatiga-Solo, dan tak jarang aku tertidur di bus.
Para santri ada acara di aula, tepatnya satu lantai di atas kamarku. Aku ikut meski terlambat karena baru saja pulang kuliah. Seseorang yang tak kukenal sedang berceramah memberi pengarahan kepada para santri. Apa yang disampaikan dan siapapun dia tak begitu kuhiraukan. Usai acara sekilas ku ketahui dari salah satu santri bahwa pengurus yang baru saja ceramah adalah Mas Asa.
Para santriwati sudah terlelap di alam mimpi mereka. Kudengar seseorang membaca Al qur’an di kantor yang tidak jauh dari asrama putri. Suaranya cukup merdu meski sesekali terdengar dia terisak-isak menangis. Entah siapa dia, namun suaranya tak asing di telingaku. Sepertinya aku sudah pernah mengenalinya. Pagi hari aku tanyakan pada pengurus siapakah gerangan  sosok misterius semalam. “Mas Asa itu lho, yang semalam habis acara, tilawah di kantor”, jawab dek Faqih salah satu santriwan yang masih duduk di bangku SMA.
 Hari-haripun berlalu penuh makna. Kini aku dapat amanah sebagai sekretaris di kepengurusan pesantren itu. Sang ketua memilihku menjadi sekretaris karena menurutnya ,konon, aku berkompeten dalam bidang ini. Jadilah aku mengenal sosok Asa karena sebagai seorang sekretaris, mau atau tidak mau aku harus sering bekerjasama dengannya. Sebagai ketua, dia tidak begitu banyak memberi arahan pada pengurus lain. Mungkin dia menganggap bahwa kami sudah terbiasa berorganisasi di kampus. Namun dia banyak memberi contoh, mencontohi tanpa kesan menggurui. Ketika kami salah dia tidak pernah menegur, tapi  selalu berupaya agar kami sadar sendiri dengan kesalahan kami. Meski aku sadar dengan berbagai kelebihannya, terutama soal akhlaknya, namun bagiku tetap no comment.
Tak terasa ternyata waktu berjalan cepat. Keletihan setelah seharian beraktivitas di kampus terasa menguap dari tubuhku tatkala memasuki gerbang asrama. Kulihat  Asa berada di kantor sekretariat, kebetulan jalan menuju kamarku harus melewati depan kantor. Kudengar kabar bahwa Asa mau berangkat ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan Jambore. Dia merupakan salah satu mahasiswa yang didelegasikan oleh kampusnya. Selama Asa di Jakarta, hati ini merasakan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. Antara kerinduan akan keberadaannya dan nikmatnya hati kala aku bisa menata kerinduan di hati menjadi sebuah motivasi dan evaluasi diri.
            Akhirnya kudengar suara Asa lagi setelah beberapa hari. Dia sudah pulang. Hati ini seakan hidup kembali di pagi hari yang sejuk dengan semilir angin dan tetesan embun. Sebuah gantungan kunci beridentitas Jambore Nasional lengkap dengan nama penyelenggara dan tanggal penyelenggaraan kuterima darinya. Konon hanya aku dan sahabat cewek akrabku saja yang mendapatkan oleh-oleh spesial. Terukir nama kami masing-masing di bagian tengah gantungan kunci tersebut. Serasa mendapatkan hadiah emas sebesar monas, bahkan lebih, itulah gambaran hatiku saat itu. Kupasang pada kunci motorku agar aku bisa membawanya ke manapun aku pergi. Aku terbiasa menaruh kunci sepeda motor di saku.
Teman-teman pengurus berencana mengadakan anjangsana ke keluarga pengurus. Tujuannya adalah agar di antara kami lebih akrab dan lebih mengenal latar belakang keluarga. Rencana kami disetujui oleh pengurus yayasan. Dan anjangsana pertama adalah ke rumah ketua, yakni rumah Asa.
Malam anjangsana tiba. Sesampai di rumah Asa, kami membersihkan diri dan mempersiapkan acara pertama, yaitu ramah tamah dengan keluarga tuan rumah. Semenjak itu aku tahu banyak tentang keluarganya. Asa adalah seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia berumur 2 bulan. Akhirnya dia tinggal dengan kakek-nenek, ibu dan seorang kakak laki-lakinya. Ketika kami sempat berbincang-bincang, ibunya bercerita tentang perjuangan mereka dalam menghadapi berbagai cobaan hidup yang mendera. Kehidupan mereka penuh dengan pengalaman pahit. Pantas saja sekarang Asa tumbuh menjadi pria dewasa dalam bersikap. Aku tak kuasa menahan air mata yang menganak sungai dari mataku. Aku merasa ada kedekatan batin antara aku dengan Bu Arni, ibunda Asa. Kehangatan kasih sayangnya pada anak-anaknya bisa kurasakan dari ceritanya. Hal ini membuat hatiku seolah-olah ingin meminta ijin  agar aku boleh meletakkan kepalaku di pangkuan Bu Arni. Sungguh, Asa adalah anak yang beruntung karena memiliki seorang ibu dan keluarga yang sangat menyayanginya. Dan Bu Arni juga sungguh beruntung karena memiliki anak yang sangat baik budi pekertinya.
Tuhan, jika engkau mengijinkan aku bisa menjadi bagian dari kehidupan Asa, aku berjanji akan selalu menyayanginya. Akan kuberikan segala sesuatu yang terbaik untuknya. Selama kami berada di rumah Asa, tidak ada kekurangan yang kami temukan. Kami juga menemukan keramahan dari keluarga dan tetangga-tetangga dekatnya.
            Sepulang  anjangsana, hari-hariku kuwarnai dengan tinta yang agak berbeda dengan biasanya. Kali ini kutambah warna hari-hariku dengan memperbanyak evaluasi dan memperbaiki diri. Aku ingin seperti  Asa baik dalam kepribadian  maupun dalam            prestasi akademik. Aku harus belajar membagi waktu agar urusan kuliah dan tugasku sebagai pengurus asrama bisa berjalan dengan baik.
            Perasaan hati yang selama ini kupendam ternyata tercium juga oleh teman-teman dekatku. Dari mereka kutahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Ya, aku memang sedang jatuh cinta, suatu anugrah cinta dari Tuhan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Pernah sih, aku jatuh cinta, bahkan tak hanya sekali. Namun biasanya aku kalau mencintai seseorang, aku mencintainya dengan cinta yang alakadarnya. Namun, apa yang kurasakan sekarang sangat berbeda. Aku benar-benar jatuh cinta.
            Rupanya, Asa pun tahu kalau aku jatuh cinta padanya. Meski tidak disampaikan secara langsung, namun dari sikapnya aku tahu bahwa dia mengetahui perasaanku padanya. Dia tidak pernah menyakitiku dan dia selalu bertingkah seolah-olah dia juga jatuh cinta padaku. Hatiku berbunga-bunga saat dia ditemani seorang temannya mengajakku ke aula karena ada hal penting yang ingin dia sampaikan kepadaku. Rasa senang bercampur penasaran menyelimuti hatiku. Angan-anganku terealisasi. Asa mengungkapkan perasaan hatinya kepadaku. Entah seperti apa ekspresi wajahnya kala itu karena kami berbincang-bincang dengan dibatasi korden pembatas ruangan. Memang aneh kedengarannya, tapi memang seperti itulah Asa. Dia selalu menjaga pandangan matanya dari memandang wanita yang bukan muhrimnya. Bahkan saat itu dia berpuasa. Konon, dengan puasa dia bisa lebih menata hati dan pikiran dari pikiran-pikiran buruk dan kotor. Dia memintaku untuk menjaga sikap dan tidak terlalu menampakkan kepada teman-teman dan adik-adik binaan kami bahwa ada perasaan cinta di antara kami. Dia juga menginginkan agar kami selalu memohon petunjuk pada Tuhan, jalan yang terbaik untuk kami.
“Prestasi belajar harus ditingkatkan, dan teruslah belajar untuk bekal di kehidupan selanjutnya, karena untuk menikah, bekal kita masih sangat kurang”  katanya. Meski sebenarnya aku masih ragu apakah dia benar-benr mencintaiku atau semua ini hanya aplikasi dari sifat baiknya yaitu selalu membuat orang lain merasa senang, dan berusaha untuk tidak perah menyakiti orang lain. Aku bersyukur pada Tuhan atas karunia cinta ini.
 Setelah obrolan kami itu, kumulai hari-hariku dengan selalu memohon segala yang terbaik menurut Tuhan untuk kami. Kupasrahkan cinta kami ini padaNya. Aku yakin Dialah yang bisa menjaga dan membolak-balikkan hati manusia. Kuadukan pada Tuhan di tiap sepertiga malam terakhir segala rindu dan cintaku pada Asa. Kujaga kehormatanku, kupacu prestasiku, kuperbaiki tingkah lakuku, dan kucari restu ibuku dengan sering mengutarakan masalahku mengenai Asa kepada ibuku. Tentunya dengan bahasa yang halus dan berhati-hati agar ibuku bisa mengerti aku. Kudeskripsikan sosok Asa kepada ibuku agar ibuku benar-benar mengenal sosoknya. Hingga akhirnya ibukupun penasaran ingin bertemu dengan Asa.
            Anjangsana berikutnya bertempat  di rumahku. Ibuku bisa melihat dan mengenal Asa secara langsung. Meskipun Asa tidak tahu kalau ibuku sudah kenal sosoknya melalui ceritaku, penilaian baik tentang sosok Asa kudapatkan dari ibuku. Tentu saja hal ini mengejutkanku karena aku tahu betul watak ibuku. Ibuku adalah sosok yang tidak mudah begitu saja menilai baik orang lain.
            Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tidak terasa aku sudah semester tujuh. Sebentar lagi aku harus menempuh mata kuliah Praktik Mengajar dan menyusun skripsi. Agar tidak terlalu capek, aku putuskan untuk indekos saja. Mau tidak mau aku harus berpisah dengan Asa. Biarlah kami tidak bertemu secara lahir, namun batin kami terasa selalu bersama. Aku tidak bisa menahan aliran air mata ketika kuadukan pada Tuhan rasa rinduku  pada Asa. Aku benar-benar merindukannya. Rasa rinduku terasa terobati ketika tiap malam Kamis aku ke pesantren untuk mengikuti kuliah ilmu falak. Kebetulan Asa juga mengikuti kuliah tersebut. Meski jarang kami bisa bertatapan langsung, apalagi berbincang-bincang, namun mendengar suaranya ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyan dari guru kami, sudah cukup sedikit mencairkan kebekuan rinduku padanya.
            Skripsiku hampir selesai, hari-hariku tidak terlalu disibukkan lagi dengan aktivitas menemui dosen. Hanya sesekali minta tandatangan pengesahan. Bulan Ramadhan tiba, kuperbanyak doa. Dan tentunya doa untuk Asa tidak pernah terlupakan. Ternyata dengan mendoakannya, bisa mengurangi rasa rinduku padanya. Ketika lebaran tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap hari ke tujuh lebaran, pengurus asrama mengadakan silaturrahmi bersama dan sekaligus  rekreasi ke tempat wisata terdekat. Kebetulan kami silaturrahmi ke rumah guru-guru kami dan ke rumah Asa. Kamipun mampir ke Kyai Langgeng, sebuah tempat wisata di kota Magelang.
            Di tempat wisata, kami boleh kemana saja  asalkan kami berkumpul kembali di tempat parkir sesuai waktu yang disepakati. Selama berjalan-jalan menikmati keindahan tiap sudut tempat wisata tersebut, aku mengira Asa mau berjalan bersamaku. Ternyata Asa berjalan dengan Layla. Layla adalah sahabat lama kami yang selama ini kuliah di kota Bandung. Kebetulan lebaran kali ini dia bisa pulang sehingga  bisa ikut kegiatan ini. Entah mengapa, aku merasa tidak bisa mengatasi kecemburuan ini. Aku berjalan berdua dengan Wati, sahabat dekatku yang usianya hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Meski Wati baru berumur belasan tahun, namun sikap dan pemikirannya dikenal jauh lebih dewasa di antara kami.
            Dari Wati, aku tahu cerita yang sebenarnya. Ya, sebenarnya. Karena aku tahu bahwa Wati sangat menjunjung tinggi kejujuran. Wati mau berkisah tentang hubugan Asa dengan Layla. Ya, ternyata Tuhan juga menganugerahkan cinta di antara mereka berdua. Aku semakin percaya dengan apa yang disampaikan Wati setelah aku meminta Sena, teman dekatku juga, untuk menceritakan dengan jujur apa yang Sena ketahui tentang Layla dan Asa. Ternyata jawabannya tidah jauh berbeda dengan Wati. Aku jadi teringat, beberapa bulan yang lalu, ketika aku membuka-buka buku agenda Asa yang tertinggal di kantor, aku sempat membaca sebuah puisi. Puisi yang tak berjudul dan tak tertulis nama penulisnya. Namun di bagian akhir puisi tertulis sebuah website Layla_ orchid@ Plasa. Com.
            Hati ini terasa sakit. Semangat hidup seakan menguap dari tubuhku. Akal sehatku malas berperan. Bahkan untuk melihat sosok Asa pun aku merasa muak. Aku pulang dengan berselimut kekecewaan. Aku ingin menangis sampai puas. Ibuku heran melihat segala tingkahku. Aku tak bisa menahan semua ini sendiri. Aku bercerita pada ibuku. Ibu juga tidak bisa menahan tetesan air matanya meski dia terlihat berusaha untuk tegar.
Beberapa hari aku menyendiri dengan penuh koreksi diri. Aku menyadari kekurangan-kekurangan pada diriku. Layla lebih cantik dariku, lebih cerdas, lebih kaya, dan mungkin dia lebih membutuhkan sosok Asa. Dengan segala cintaku, aku berharap Asa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Begitupun sebaliknya. Semangatku tumbuh kembali. Aku percaya bahwa Tuhan memiliki rahasia yang tersimpan dari semua kejadian yang kualami. Tuhan pasti akan memberikan  yang lebih baik untukku. Meskipun sosok Asa  begitu sempurna di mataku, tapi belum tentu tepat untukku.
Hari-hari berikutnya aku sangat disibukkan dengan persiapan wisudaku dan kesibukanku mengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas di Salatiga. Kerinduanku pada Asa telah memudar dan hampir tidak berbekas lagi. Kami pun jarang bertemu maupun berkomunikasi.
Di tengah kesibukanku di tempatku mengajar, aku mendapatkan tugas untuk mengikuti kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMA se-Salatiga atau yang sering disebut MGMP. Sebagai anggota yang baru pertama kali mengikuti kegiatan ini, aku dan beberapa guru dari sekolah lain diharuskan memperkenalkan diri. kami berkenalan secara bergantian.
Kegiatan ini berlanjut menjadi kegiatan rutin sebulan sekali. Biasanya kegiatan diisi dengan pelatihan menyusun perangkat pembelajaran dan materi-materi lain yang kami butuhkan. Dari intensitas pertemuan inilah, aku mengenal Pak Adfar, seorang guru dari SMA favorit di kotaku. Pak Adfar sering membantuku dan juga membantu teman-temannya yang masih kesulitan menyelesaikan tugas-tugas dari trainer kami. Dia seorang yang baik hati dan tidak sombong, menurutku. Beberapa bulan berlalu, hingga akhinya Pak Adfar mengungkapkan isi hatinya padaku. Dia mengajakku untuk menikah. Wow... sesuatu yang sama sekali tidak kuduga sebelumnya karena aku merasa  masih sangat hijau untuk urusan yang satu ini.
            Dengan berbagai pertimbangan, baik pertimbangan dari diriku sendiri, orang tuaku, dan juga pertimbangan dari guru mengajiku yang sangat aku percayai kebaikannya, dan juga perkenalan kurang lebih sebulan, akhirnya aku menerima lamaran Pak Adfar. Ya, aku menerimanya karena setelah kurang lebih sebulan kuhabiskan tiap-tiap sepertiga malam terakhir untuk bermunajat memohon petunjuk-Nya. Hatiku merasa yakin, mungkin dialah seorang yang terbaik yang dianugrahkan Tuhan untukku. Kami menikah dan Asa hadir pada resepsi pernikahanku meski tidak aku undang. Sambil tersenyum dan terlihat tulus, dia memberiku ucapan selamat dan mendoakan semoga kami bahagia dan pernikahan kami penuh berkah-Nya.
            Hingga sekarang, aku masih percaya bahwa Asa adalah sosok yang sangat baik. Tuhan mengabulkan doanya, karena hingga sekarang, dan semoga selamanya, aku merasa pernikahan kami penuh keberkahan.
            Teet... Teet... bel tanda pergantian jam mengajar mengagetkan lamunanku. Tibalah saatnya aku harus masuk kelas. Ya Tuhan ... tidak terasa sudah beberapa menit kuhabiskan waktuku untuk melamun. Dengan langkah cepat, kulewati koridor panjang sampai ke kelas yang akan kumasuki. HPku bergetar tanda ada sms masuk. Sambil berjalan kubuka sms itu.
Assalamu’alaikum, selamat pagi bu guru, mohon kehadiran mbak wiwin sekeluarga dalam acara resepsi pernikahan kami yang akan dilaksanakan pada besok minggu jam 10 – selesai di rumahku, kehadiran mbak sekeluarga sangat kuharapkan, makasih 

Maha Besar Tuhan, sms tadi memberi PR rasa penasaran bagiku tentang siapakah sosok pendamping Asa? Apakah Layla? Atau gadis lainnya? Entahlah. Aku ingin waktu berjalan cepat hingga hari Minggu tiba.

«««















Selengkapnya...

Sastra Melayu Klasik


MENDIRIKAN LANGKASUKA





Marong Mahawangsa dititahkan oleh raja Rum menemani putranya meminang putri Tiongkok. Dekat Langka, bekas kerajaan Rawana, mereka itu diserang oleh garuda, yang bermaksud dengan persetujuan Nabi Sulaiman mempertemukan anak raja Rum dan putri Tiongkok itu di Langka.
Anak raja Rum itu hilang, diterbangkan garuda itu.
Marong Mahawangsa tidak tahu, bahwa anak raja itu selamat, dan karena itu dicarinya.


H
atta beberapa hari lamanya raja Marong Mahawangsa mencari anak raja Rum itu dengan kemasygulan yang amat sangat, karena sultan Rummenyerahkan anakandanya itu ke dalam jaganya dan ialah harapan yang besar kepada sultan Rum itu. Maka ratalah sudah disuruh cari oleh raja Marong Mahawangsa kepada segala menteri para penggawa hulubalang, tiada juga bertemu dengan anak raja Rum itu. Maka raja Marong Mahawangsa pun berlayar dengan halanya, pergi ke timur dengan bahteranya menyusur daratan tanah besar itu, sambil mencari-cari juga akan anak raja Rum itu, kalau-kalau bertemu.
Hatta dengan demikian itu maka sampailah kepada suatu teluk dengan suatu tanjung. Maka raja Marong Mahawangsa pun bertanya pada seorang mualllim yang tua di dalam bahtera itu, “Apa nama tempat itu dan apa halnya?” Maka sembah muallim itu, “Bahwa pulau besar yang baharu hendak bersuatu dengan daratan itu bernama pulau Seri dan sebuah pulau kecil dekatnya itu pula bernama pulau Jambul, dan yang arah kedatarannya sedikit itu bernamapulau Lada, tuanku.”
Maka titah raja Marong Mahawangsa, “Jikalau demikian, singgahlah kita berlabuh ke timur teluk ujung tanjung di antara tanah besar dengan pulau yang besar itu.”
Setelah itu lalu berlayarlah behtera itu menuju tempat yang dititahkan oleh raja Marong Mahawangsa itu. Antara berapa ketika lamanya berlayar, maka berlabuhlah bahtera itu. Maka raja Marong Mahawangsa pun dengan segala menteri pegawai hulubalang naiklah ke darat.

Maka tatkala itu datanglah kaum gergasi, orangnya besar-besar, terlalu banyak datang menghadap raja Marong Mahawangsa. Maka oleh raja Marong Mahawangsa pun sudah diketahuinya oleh orang-orang itu bangsanya, lalu ditegurnya serta dengan manis suaranya

mengambil hati mereka itu. Maka segala kaum gergasi itu pun sangatlah kasih sayang serta dengan takut dan hormatnya akan raja Marong Mahawangsa itu, karena hebat sikapnya, tiada terlawan pada zaman itu, dan segala yang melihat akan dia takut dan gementar sekaliannya daripada segala bangsa.
Maka tirahnya pada segala kaum gergasi yang datang itu, “Adapun beta singgah inijikalu baik bicaranya maulah beta duduk berheti di sini dahulu, sementara menanti khabar anak raja Rum itu, kalau-kalau ada hidupnya.”
Maka sembah segala kaum gergasi itu, “Patik sekalian pun lebih lagi kesukaan,karena patik-patik sekalian ini tiada menaruh raja pada tempat ini. Jikalau demikian baiklah duli tuanku coba berangkat melihat tanah yang patut tempat tuanku hendak duduk.”
Maka raja Marong Mahawangsa pun berjalanlah menyusur mencari tanah tempat hendak membuat kota, parit, balai, istana itu diiringkan oleh menterinya dan segala kaum kerabatnya itu. Maka bertemulah dengan tanah bumi yang baik, terlaulah indah-indah tempatnya dan pemandangan di kelilingnya amatlah permai-permai, tanahnya pun berpasir. Maka tiadalah ia turun ke bahteranya lagi, gila dengan memungut buah-buahan dan membuat kota istana dengan balainya yang terlalu amat besar lagi dengan indahnya.
Setelah sudah kota balai itu, maka dinamai Langkasuka, karena mengerjakan itu disambilkan dengan makan minum dan bersuka-sukaan jua serta dengan beberapa binatang perburuan berjenis-jenis daripada rusa, kijang, napuh, pelanduk, sapi dan lainnya yang dimakan oleh sekalian orang bekerja itu. Maka terlalulah amat kesukaannya sekalian mereka itu dengan tepuk tarinya dan bunyi-bunyiannya karena kaum itu tiada beraja hanya ia sekalian berpenghulu saja dan lagi pun baik budi bahasanya raja Marong Mahawangsa dengan segala menteri para pegawai hulubalang rakyatnya sekalian itu.

Setelah sudah lengkap kota istana dan balai itu, baharulah raja Marong Mahawangsa menitahkan orang menyuruh punggah angkat segala kalkasar serta dengan istrinya sekali disuruh bawa ke istana. Kemudian segala istri hulubalang para pegawai masing-masing berbuatlah rumah dan kampung diaturnya berkeliling kota rajanya. Setelah sudah sekaliannya itu, maka masing-masing pun datanglah menghadap rajanya sehari-hari.
Maka termasyhurlah khabar raja Marong Mahawangsa sudah duduk menjadi raja kepada tempat itu. Maka segala dagang senteri pun berohonlah datang berniaga ke dalam negeri itu, dan baginda dengan segala menterinya makinlah bertambah-tambah baik budi bahasanya kepada segala isi negeri, dan kesenanganlah segala rakyat mencari makan pergi mari ke negeri itu, tiada pernah teraniaya. Maka banyaklah orang yang berpindah dari luar negeri membawa anak istrinya pergi duduk bersama-sama raja arong Mahawangsa itu, hingga makin bertambah-tambah rakyatnya daripada sebulan kepada sebulan, daripada setahun kepada setahun, dan makin banyak orang berpindah itu. Maka tetaplah raja Marong Mahawangsa di atas takhta kerajaan dengan adil murahnya. Demikianlah diperintahkan oleh baginda itu tiada lagi berulah melainkan daripada sehari kepada sehari bertambah-tambah kebijakan sahaja di dalam negeri itu.

               ( Hikayat Marong Mahawangsa



HIKAYAT MUSAFIR DENGAN TUKANG EMAS




“Sekarang” ceritakan pulalah perumpamaan orang yang berbuat kebajikan, tetapi tidak pada tempatnya,dan ia mengharap juga akan terima kasih.”
“Ampun, tuanku,adapun makhluk di dunia ini bertinggi rendah derajatnya. Sungguhpun demikian tidaklah dalam makhluk sebanyak itu, baik yang berkaki empat, baik bangs yang berkaki dua, maupun yang bersayap, yang terlebih mulia daripada mannusia. Akan tetapi tidak semuanya manusia itu tinggi budinya, ada pula yang jahat kelakuan. Binatang kadng-kadang ada yang lebih mulia budinya daripada manusia,lebih dapat dipercaya dan lebih pandai membalas guna. Oleh sebab itu wajib atas orang yang bijaksana, istimewa raja-raja, meletakkan kebajikan pada tempatnya jangan teperbuat hendaknya kepada orang yang tiada pandai menghargakannya, tiada pula tahu berterima  kasih. Jadi ada gunanya menyelidiki budi pekerti tiap-tiap orang yang ada perhubungannya dengan kita. Jika ternyata seseorang pandai membalas guna, bolehlah kita berbuat kebajikan kepadanya, sekalipun ia bukan ahli pamili. Sebaliknya di antara ahli pamili sendiri ada yang tidak pandai membalas guna, dan tidak patut menjadi tempat meletakkan kebajikan.
Bukankah tak ada pandai obat yang mau mengobati orang sakit sebelum diketahuinya keadaan diri orang itu, tabiatnya dan penyakit yang dihidapkannya? Demikianlah maka arif bijaksana belum mau mendekatkan diri kepada seseorang, sebelum mengetahui tabiat kelakuan orang itu. Barangsiapa yang lekas percaya kepada kebaikan orang yang didengarnya dari mulut ke mulut saja, ia menjatuhkan dirinya ke dalam bahaya.
Sungguhpun demikian mungkin pula terjadi orang yang berbuat baik kepada seseorang yang lemah, yang belum diketahuinya budi pekertinya mendapat balasan kebaikan pula. Seperti orang yangmembawa burung rajawali di tangannya, lalu apabila burung itu dapat memburu dan menangkap perburuan,maka yang penya pun beruntunglah. Kata orang tua-tua tiada patut sesorang  merendahkan lainnya, baik manusia maupun binatang. Tetapi baiklah dicobainya lebih dahulu, supaya dapat diketahuinya apa yang layak dilakukan kepada orang itu. Orang yang memperbuat perbuatan yang baik, tetapi bukan pada tempatnya, adalah perumpamaannya seperti musafir yang melepaskan tukang mas dari dalam sumur.”
“Ceritakanlah, hai Brahmana yang bijaksana!”
“Sekali peristiwa pada suatu tempat yang digali orang sebuah sumur. Maka pada suatu malam jatuhlah ke dalam sumur itu orang pandai emas, seekor ular, seekor kera dan singa seekor. Setelah sianglah hari, lalu di tempat itu seorang musafir. Demi kelihatanlah olehnya pandai emas bersama-sama dengan binatang-binatang itu dalam sumur, berikirlah ia. “Tak mungkin ada amal yang lebih berharga untuk akhiratku,” katanya dalam hatinya,



“daripada melepaskan orang itu darimusuh-musuhnya.”

Maka diulurkannya seutas tali. Mula-mula
 bergantunglah kera, lalu ditariknya dan kera pun terlepas dari bahaya. Diulurkan sekalli lagi, dan terlepaslah ular. Sekali lagi diulurkannya, bergantung pula singa, dan ia pun terlepas pulalah. Ketiga binatang itu lalu mengucapkan terima kasih kepada musafir, seraya berkata, “Adapun orang itu janganlah tuan hamba keluarkan, karena mannusia tiada pandai membalas guna.”
Kemudian kata kera,”Adapun tempat hamba adalah pada sebuah bukit dekat kota yang bernama Nawadiracht.”
“Hamba pun di situ juga tempatnya,”  kata singa menyela. “Dan hamba,” kata ular, “pun di situ.” “Oleh sebab itu,” kata binatang ketiganya, “kalau tuan hamba datang ke tempat itu, dan ada keperluan tuan hamba akan barang sesuatu, maka sebutah nama kami,niscaya kami datang, membalas jasa tuan hamba sedapat-dapatnya.” Kemudian binatang itu pun pergilah.
Nasihat binatang itu tiada dipedulikan oleh musafir. Diulurkannya tali sekali lagi dan dilepaskannya tukang emas. “Tuan hamba telah melepaskan jiwa hamba,” kata tukang emas. “Oleh sebab itu jika tuan hamba sampai ke kota Nawadiracht, tanyakanlah rumah hamba, mudah-mudahan dapat juga hamba membalas budi tuan hamba itu hendaknya. Hamba ini pandai emas.”
Pada suau ketika sampailah musafir ke kota Nawadiracht. Demi kera terlihat akan musafir itu,datanglah ia lalu sujud menjilat kaknya seraya berkata, “Adapun bangsa kera tidaklah mempunyai suatu apa pun jua. Sungguhpun demikian, sudilah tuan hamba menanti barang seketika di sini.” Maka pergilah kra, dan sesaat sudah itu kembali ia membawa buah-buahan yang lezat cita rasanya, diberikannya kepada musafir. Musafir pun makanlahdan terobatlah laparnya.
Sudah itu musafir berjalanlah pula. Sejurus antaranya bertemu ia de nga singa. Singa pun sujud menyembah sambil berkata, “Hamba berutang budi kepada tuan hamba. Oleh sebab itu sudilah tuan hamba menanti seketika di sini.”Lalu singa pun perg dari situ masuk ke dalam teman tempat anak raja bermain-main. Anak raja itu  dibunuhnya, diambilnya kalung lehernya, dibawanya kepada musafir. Demi musafir melihat barang perhiasan itu, teringatlah tukang emas olehnya.
“Binatang ini sudah memberiku barang perhiasan,” katanya. “Alangkah baiknya kalau aku datang kepada tukang emas. Dia yang tahu berapa harganya barang ini. Kalau dia seorang miskin pula, biarlah diambilnya seperdua daripada penjualannya, cukuplah diberikannya kepadaku yang seperdua lagi.”



Maka pergilah ia ke rumah tukang emas. Tatkala bertemu sangat hormat tukang emas menyambut dia. Keudian ketika perhiasan itu diperlihatkan musafir kepadanya, tahulah pandai emas siapa yang empunya, karena barang itu ia yang membuatkan  untuk anak raja dahulu. Maka berkata ia kepada musafir, “Istirahatlah tuan hamba barang seketika, hemba hendak pergi membeli makanan, karena di rumah tiada hamba menaruh makanan yang patut bagi tuan hamba.”
Kemudian keluarlah ia sambil berkata dalam hatinya, “Mujur aku. Sekarang terbuka jalan bagiku akan menjadi orang bear. Kuberitahukan kepada raja bahwa orang yang membunuh putra baginda dan merampas perhiasannya ada di rumahku. Tak boleh tidak aku diberi raja karunia yang besar.” Maka masuklah ia menghadap dan diadukannya musafir itu kepada baginda. Ketika itu juga raja pun bertitah menyuruh mmenangkap musafir itu. Demi baginda melihat perhiasan itu ada padanya,murkalah baginda, lalu bertitah mnyuruh memenjarakan dan menyiksanya, kemudian supaya diarak keliling kota, sudah itu dibunuh.
Mendengar titah raja demikian, musafirpun menangis seraya berkata, “Kalau nasihat binatang itu kuturuti dahulu barangkali tiadalah akan begini halku.” Maka merataplah ia hingga kedengaran oleh ular.Ular pun datanglah menemuinya. Karena kasihan melihat hal orang itu, ular pun berusaha hendak melepaskannya. Dipatuknya putra mahkota, lalu sudah itu ia pergi mendapatkan sahabatnya seorang jin. Disuruhnya jin mengganggu putra itu dalam tidurnya, bahwa ia akan sembuh sebelum diobati oleh musafir yang terpenjara karena teraniaya itu. Sudah itu pergi pula ia bertemu dengan musafir.
“Dahulu sudah juga kami larang tuan hamba melepaskan musuh itu,” katanya, “tetapi tuan hamba tiada mau mendengar kata kami. Sekrang jika datang tuan pesuruh raja menyuruh mengobati putra baginda, beri minumlah anak itu dengan air daun kayu ini, mudah-mudahan sembuh ia. Kemudian kalau ditanya raja hal ihwal tuan hamba, ceritakanlah kepada baginda dengan sebenar-benarnya. Mudah-mudahan terlepas tuan hamba dari hukuman.”
Demi raja melihat anaknya digigit ular, dipanggilnyalah semua tabib dari dalam negeri, disuruhnya mengobati. Tetapi berapa pun diobati tiada juga putra itu sembuh. Kemudian pada suatu malam putra itu bermimpi, serasa ada oarang datang kepadanya mengatakan, kalau ia hendak sembuh, haruslah ia berobat kepada musafir yang terpenjara itu. Ketika mimpi itu dikabarkan kepada raja, dipanggil bagindalah muafir itu, disuruhnya memanterakan annaknya.
“Patik tiada pandai bermantra, Tuanku,” jawab musafir itu. “Tetapi cobalah putra itu diberi minum air daun ini mudah-mudahan sembuh dia.”
Setelah putra raja diberi minum air daun itu, maka melihat izin Tuhan sembuhah dia. Sangatlah sukacita raja melihat ananda sembuh, dan musafir itu pun dikaruniai baginda anugerah besar. Kemudian baginda pun bertanyalah akan hal ihwalnya. Oleh musafir semua keadaannyadiceritakan kepada raja.


Mendengar cerita musafir itu murkalah baginda kepada pandai emas, lalu disuruh beginda tangkap dan sulakan. Maka disulakan oranglah pandai emas itu. Demikianlah kalau orang melakukan perbuatan yang keji, air susu dibalas dengan tuba.
Bagi cerdik cendikia hikayat di atas dapatlah menjadi peringatan, supaya hati-hati meletakkan kebajikan pada tempatnya yang berpatutan dengan dia, baik terhadap ahli pamili sendiri, maupun terhadap oarang lain semata-mata. Ketika itulah baru kebajikan yang ditanam itu dapat dipetik buahnya, dan sesal yang tiada berguna dapat disingkirkan jauh-jauh.”




CRTN143
Hikayat Indera Bumaya


Syahdan Indera Bumaya pun besarlah, makin elok parasnya, budi bahasanya pun terlalu baik, serta fasih lidahnya dan bijak pula pada barang pekerjaan. Hikmat peperangan pun habis dipelajarinya. Pada suatu malam, Indera Bumaya pun bermimpi dibawa oleh seorang perempuan naik ke keinderaan untuk melihat gambar Puteri Kesuma Dewi. Sesudah melihat gambar itu, Indera Bumaya pun jatuh pingsan tiada khabarkan dirinya. Setelah genap tujuh hari dan tujuh malam barulah ia sadarkan dirinya.
Karena terlalu berahi akan rupa gambar itu, Indera Bumaya lalu memohon izin kepada ayahnya untuk mencari puteri yang dimimpikannya itu.
Tersebutlah perkataan Indera Bumaya mencari puteri idamannya di sebelah matahari mati, keluar masuk hutan rimba yang besar dan padang yang luas. Segala binatang yang buas sekaliannya menundukkan kepala seperti orang memberi hormat kepada raja, Indera Bumaya pun sampai di sebuah gunung yang terlau tinggi lagi besarnya. Seorang perempuan menyuruhnya pergi berguru pada Sri Maharaja Sakti dan belajar hikmat tipu perang dirinya. Dan untuk sampai kepada tempat Sri Maharaja Sakti, Indera Bumaya mesti bertemu dengan Maharesi Antakusa dulu. Sebelum berpisah, perempuan itu masih memberikan Indera Bumaya sebuah guliga yang boleh menjadikan diri berjenis-jenis burung atau guliga yang boleh menjadikan diri berjenis-jenis burung atau bunga melur.
Maharesi Antakusa menyambut kedatangan Indera Bumaya dengan hormat serta memberitahunya, kalau Indera Bumaya hendak beristerikan Puteri Kesuma Dewi ia mesti pergi kepada Maharesi Kesna Candra. Diingatkannya kepada Indera Bumaya supaya jangan jatuh cinta pada seorang perempuan cantik di sebuah rumah di tengah jalan. Sebelum bercerai, Maharesi Antakusa memberikan Indera Bumaya sebuah guliga yang dapat angin, hujan, guruh, petir, serta mengeluarkan rakyat beribu-ribu.
Tersebut pula perkataan Indera Bumaya sudah berjalan sampai di padang Antah Berantah yang terlalu permai rupanya. Di tengah padang itu, Indera Bumaya bertemu dengan serumpun bunga melur dan seekor burung bayan yang pandai berkata-kata. Seketika bermain di padang itu, Indera


Bumaya pun melihat seekor kumbang hijau menjadikan dirinya sebuah rumah dan di dalam rumah itu ada seorang perempuan yang terlalu elok parasnya. Indera Bumaya teringat pesan Maharesi Antakusa dan hendak berjalan keluar, maka dilihatnya padang itu sudah menjadi laut. Indera Bumaya marah dan mengancam akan membunuh perempuan itu. Perempuan itu takut dan memberitahu bahwa namanya ialah Candra Lela Nur Lela. Indera Bumaya lalu mengakuinya sebagai saudara. Puteri Candra Lela pula memberikan Indera Bumaya satu kemala hikmat yang dapat mengeluarkan empat orang jin dari dalamnya.    

Selengkapnya...

Rabu, 10 November 2010